Kamis, 15 Oktober 2015

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL : Indonesia dan Traktat Kemitraan Trans Pasifik

Indonesia dan Traktat Kemitraan Trans-Pasifik



Sebanyak  12 negara di lingkar Pasifik baru saja menuntaskan perundingan Traktat Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership. 

Traktat ini merupakan suatu kerangka hukum bagi kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi. Kerja sama ini merupakan mega trade bloc yang mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia (28,1 triliun dollar AS produk domestik bruto gabungan) dengan mengikutsertakan lebih dari 792 juta penduduk  yang tersebar di Amerika Serikat, Australia, Brunei, Cile, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Meksiko, Kanada, dan Selandia Baru.

 Meskipun Trans-Pacific Partnership (TPP) belum secara resmi ditandatangani,  wacana tentang keikutsertaan Indonesia dalam kerja sama itu cenderung semakin mengemuka akhir-akhir ini. Wacana tersebut perlu disikapi secara hati-hati.

Bergabungnya Indonesia ke dalam TPP justru dikhawatirkan dapat menghalangi upaya pemerintahan Presiden Jokowi dalam mewujudkan kemandirian ekonomi nasional sesuai Nawacita.

 Oleh karena itu, sudah sepatutnya keputusan bergabung ke TPP didasarkan pertimbangan yang sangat mendalam dengan memerhatikan aspek politik, ekonomi, dan hukum. Semua dimensi teknis ketiga aspek perlu dikaji kembali secara kritis.
 
Aspek politik

 Ruang lingkup dan implikasi TPP sangat luas serta melampaui persoalan perluasan akses pasar. Selain berkaitan dengan perdagangan dan investasi, TPP juga mengatur persoalan lingkungan hidup, perburuhan dan persoalan-persoalan lain yang selama ini sepenuhnya merupakan urusan domestik suatu negara.

 Selain itu, proses perundingan TPP juga sangat didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat. Proses tersebut terpisah dan bukan merupakan bagian dari upaya penguatan Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA (ASEAN Economic Communityyang saat ini menjadi prioritas utama diplomasi ekonomi Indonesia.

 Berbeda dengan proses Regional Comprehensive Economic Partnership yang melibatkan semua negara ASEAN dan semua negara mitra ASEAN, TPP secara sengaja tidak mengikutsertakan Tiongkok yang merupakan pasar terbesar di Asia Pasifik. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Presiden Obama yang menekankan bahwa AS tidak dapat membiarkan Tiongkok menentukan "aturan" yang berlaku dalam perekonomian global. Melalui TPP, Amerika berharap dapat menyusun "aturan-aturan" itu.

 Aspek politis itu perlu dikaji sesuai rencana strategis diplomasi ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi. Ramifikasi politik di dalam negeri dan pengaruhnya terhadap upaya mewujudkan MEA yang mandiri juga perlu dapat perhatian khusus.
 
Aspek ekonomi

 Pembentukan TPP tak serta merta menjadikan perdagangan di kawasan Asia Pasifik akan menjadi lebih "bebas". Justru sebaliknya, TPP telah menerapkan aturan tentang akses pasar yang lebih kompleks dan sulit untuk dipenuhi oleh produk dan jasa dari Indonesia. Akibatnya, berdasarkan pada pengalaman implementasi perjanjian perdagangan bebas sebelumnya, banyak pihak justru mengkhawatirkan keikutsertaan Indonesia pada TPP hanya akan menjadikan Indonesia "pasar" bagi produk dan jasa dari negara lain.

 Di samping itu, sebagian besar komitmen dalam TPP jauh lebih eksesif dibandingkan dengan komitmen dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ataupun perjanjian perdagangan bebas lain. Hak negara untuk mengambil kebijakan dalam rangka melindungi kepentingan nasional yang strategis sebagaimana diberikan oleh WTO atau perjanjian perdagangan bebas lainnya (misalnya kebijakan mengenai kebijakan perpajakan dan pengaturan khusus tentang barang-barang yang sensitif) dihapuskan.
 TPP juga mewajibkan liberalisasi di sektor pengadaan pemerintah (government procurement). Bagi negara-negara berkembang, liberalisasi di sektor ini merupakan isu yang sangat sensitif. Komitmen ini jelas bertentangan dengan posisi Indonesia yang melindungi pengusaha nasional melalui pembatasan keikutsertaan perusahaan asing dalam proses tender pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

 Ketentuan mengenai BUMN juga tak sejalan dengan kepentingan nasional. TPP melarang negara memberikan keistimewaan atau insentif kepada BUMN. Ketentuan itu tentunya akan menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan usaha BUMN di Indonesia.

 Di bidang investasi, berbeda dengan semangat peninjauan kembali perjanjian investasi yang saat ini sedang dilakukan pemerintah, TPP menekankan pada pemberian hak yang lebih dan mengedepankan kepentingan investor asing daripada memerhatikan hak negara untuk menegakkan kedaulatan dan melindungi kepentingan nasionalnya.
 Selanjutnya, Indonesia kiranya juga perlu menyikapi secara hati-hati semua ketentuan tentang hak kekayaan intelektual (HKI) yang merugikan kepentingan negara-negara berkembang. TPP mengutamakan pemberian hak yang lebih kepada perusahaan multinasional yang secara faktual menguasai HKI. Hal ini dikhawatirkan akan memengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah khusus guna kepentingan nasionalnya, misalnya penyediaan  obat-obat murah bagi rakyat serta memfasilitasi proses alih teknologi.
 
Aspek hukum

 TPP menerapkan standar kewajiban hukum yang sangat tinggi. Konsekuensinya Indonesia akan "dipaksa" melakukan perubahan peraturan perundangan nasional di berbagai bidang untuk disesuaikan dengan standar TPP (antara lain di sektor keuangan, lingkungan hidup, perburuhan, HKI, kebebasan penggunaan internet, dan berbagai sektor lain).  Kewajiban untuk melakukan perubahan hukum nasional tersebut tentunya dapat memengaruhi dan bahkan bertentangan dengan strategi pembangunan hukum nasional.

 Isu hukum lainnya adalah persoalan investor-state dispute settlement (ISDS). Indonesia tak dapat menerima ketentuan ISDS yang memberi hak kepada investor asing untuk secara langsung menggugat pemerintah ke arbitrase internasional tanpa persetujuan sebelumnya dari pemerintah. Ketentuan ini tak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Dengan demikian, bergabung dengan TPP bukan merupakan kepentingan nasional yang harus segera diwujudkan. TPP tidak memberikan kebebasan yang lebih besar bagi barang dan jasa Indonesia untuk memasuki pasar di negara-negara TPP. Ekspor barang dan jasa Indonesia justru akan menghadapi aturan tentang akses pasar yang lebih kompleks dan sulit untuk dipenuhi. Di samping itu, selain TPP lebih memfokuskan pada kepentingan perusahaan multinasional, kerja sama regional itu juga menetapkan komitmen liberalisasi dan standar kewajiban hukum yang cukup intrusif  terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
 
Abdulkadir Jailani
Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri RI

Jumat, 18 September 2015

Kasus : Hukum Perdata Internasional

 
Contoh Kasus : Hukum Perdata International
 
Rabu, 16 September 2015
MA Tolak Kasasi Perkara Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris
Setelah kandas di tingkat banding, upaya hukum Nine AM juga kandas di tingkat kasasi.
MA Tolak Kasasi Perkara Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris
Gedung MA. Foto: RES
Jalan panjang ‘perseteruan’ antara Nine AM Ltd dengan PT Bangun Karya Pratama (BKP) akhirnya bermuara ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana dikutip dari laman resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, informasi putusan menyebutkan bahwa majelis kasasi menolak permohonan kasasi Nine AM. Namun sayangnya, dalam laman tersebut belum terdapat dokumen putusan secara lengkap.
Majelis hakim yang terdiri dari Hamdi, Sudrajad Dimyati dan Ahmad Kamil itu memutus perkara pada tanggal 31 Agustus 2015 lalu. Putusan kasasi ini berarti memperkuat putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Nomor: 48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014.
Untuk diketahui, dalam putusannya, Majelis Hakim PT DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) No. 451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT tanggal 20 Juni 2013 silam. Dalam putusannya, PN Jakbar mengabulkan gugatan BKP.
Gugatan ini bermula dari sebuah perjanjian, Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Perjanjian tersebut mengatur BKP memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah AS$4,422 juta. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia atas benda tertanggal 27 April 2010.
Benda yang dijaminkan adalah enam unit Truk Caterpillar Model 775F Off Highway. Mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman tersebut adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar AS$148,5 ribu per bulan dan bunga akhir AS1,8 juta yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran pinjaman.
Setelah berjalan selama dua tahun, BKP mengajukan gugatan karena menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil. Perjanjian tersebut dinilai melanggar Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa). Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia.
Padahal, Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa tersebut telah mengatur dengan tegas bahwa bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Dalam gugatan, BKP meminta pengadilan untuk menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Gugatan ini dikabulkan majelis hakim yang dalam putusannya menyatakan perjanjian tersebut memang bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. Beleid tersebut dengan tegas mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam sebuah perjanjian.
Selain itu, majelis juga memerintahkan BKP untuk mengembalikan semua pinjaman yang telah diberikan Nine AM. Karena telah membayar AS$3.506.460 ditambah deposit AS$800 ribu, majelis meminta BKP mengembalikan sisa uang Nine AM sebanyak AS$115.540.
Atas putusan ini, Nine AM tidak puas dan bersikukuh berpandangan UU Bahasa tidak mengatur sanksi berupa pembatalan atas suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia. Pihak Nine AM pun terus melakukan upaya hukum banding dan kasasi.

Kamis, 09 Oktober 2014

Seri HUKUM DAGANG : MK beri kelonggaran waktu pengesahan RUPS (UU No. 40 Th.2007)

 
MK Beri Kelonggaran Jangka Waktu Pengesahan RUPS
Dengan putusan ini, tidak ada alasan lagi Kemenkumham untuk tidak mengesahkan hasil RUPSLB Metromini.
ASH
Dibaca: 183 Tanggapan: 0
MK Beri Kelonggaran Jangka Waktu Pengesahan RUPS
Armada bus metromini. Foto: RES (Ilustrasi)
MK mengabulkan permohonan Direktur Utama PT Metromini, Novrialdi yang mempersoalkan Pasal 86 ayat (9) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam putusannya, MK memberi tafsir konstitusional yang memperlonggar jangka waktu pengesahan hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh Kementerian Hukum dan HAM.

MK menyatakan Pasal 86 ayat (9) UU Perseroan Terbatas yang menyatakan, “RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 hari dan paling lambat 21 hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 hari dan paling lambat 21 hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan atau dalam hal RUPS dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan jangka waktu tersebut adalah paling lambat 21 hari setelah diperolehnya penetapan pengadilan negeri.”

"Terhadap hasil RUPS yang dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan negeri dan telah melewati jangka waktu yang ditentukan Pasal 86 ayat (9) UU Perseroan Terbatas sebelum adanya putusan Mahkamah ini dapat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM paling lambat 21 hari setelah putusan Mahkamah ini,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 84/PUU-XI/2013 di ruang sidang MK, Kamis (9/10).

Pasal 86 ayat (7) UUPT menyebutkan, “Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.” Ayat (9)  menyebutkan “RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 hari dan paling lambat 21 hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.”

Sebelumnya, Direktur Utama PT MetrominiJakarta Novrialdi ‘menggugat’ Pasal 86 ayat (7) dan (9) UU PT. Dia merasa hak konstitusionalnya dirugikan lantaran hasil RUPSLB tidak dapat disahkan Menteri Hukum dan HAM. Pemohon dianggap terlambat melaksanakan RUPS ketiga karena jangka waktu RUPS kedua dan ketiga melewati 21 hari.

Untuk itu, Metromini meminta MK menyatakan Pasal 86 ayat (9) UUPT tidak menjadikan batal hasil RUPSLB Metromini 23 Februari 2013. Pemohon juga meminta MK membatalkan Pasal 86 ayat (9) UUPT khususnya frasa “RUPS yang kedua dengan yang ketiga dengan waktu paling cepat 10 dan paling lambat 21 hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.”

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan pemecahan permasalahan hukum mutlak diperlukan karena UU PT membatasi jangka waktu pelaksanaan RUPS  kedua dan RUPS ketiga dalam hal yang biasa. Namun, tidak menentukan dalam hal RUPS dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan.

MK berpendapat jangka waktu paling cepat 10 hari dan paling lambat 21 hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan adalah tidak mungkin dilakukan dalam hal penentuan kuorum RUPS dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan karena proses sidang pengadilan yang pasti membutuhkan waktu.

Untuk menjamin kepastian hukum yang adil, Mahkamah perlu menentukan jangka waktu yang wajar dan patut dalam hal pelaksanaan RUPS dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan hukumnya.

Mahkamah menilai Penetapan PN Jakarta Timur No. 03/Pdt.P/RUPS/2012 PN.Jkt.Tim, tertanggal 11 Desember 2012 terkait penetapan kuorum RUPS ketiga yang telah melewati jangka waktu 21 hari, sehingga tidak mungkin pemohon mendaftarkan hasil RUPS tersebut, maka hasil RUPS ketiga yang didasarkan penetapan pengadilan negeri sebelum putusan Mahkamah ini dapat didaftarkan ke Kememkumham paling lambat 21 hari sejak putusan Mahkamah ini diucapkan.

Usai persidangan,  Novrialdi mengatakan dengan adanya putusan ini, tidak ada alasan lagi Kemenkumham untuk tidak mengesahkan hasil RUPSLB Metromini yang telah disepakati beberapa tahun lalu. Sebab, selama ini Kemenkumham tidak mau mengesahkan hasil RUPS Metromini.

“Intinya, MK memperlonggar aturan jangka waktu pengesahan RUPS oleh Kemenkumham, karena awalnya memang kita terlambat mengajukan RUPS itu karena kita tidak mungkin melaksanakan proses dalam 21 hari yang ditentukan pasal itu,” kata Novrialdi.

Dia menambahkan hasil RUPSLB Metromini berisi pergantian kepengurusan dan penyesuaian Anggaran Dasar Metromini yang baru. Sebab, sejak tahun 1976, Metromini belum pernah diubah. “Saya di situ sebagai Direktur Utamanya,” katanya.

Rabu, 08 Mei 2013

PRAKTEK HUKUM ACARA PERDATA

                                      PRAKTEK HUKUM ACARA PERDATA 1)

                                                 Oleh : Abdul Fickar Hadjar 2)


Pengertian Hukum Acara Perdata (HAPer)

Secara umum HAPer adalah seperangkat hukum formil yang mengatur cara dan prosedur hukum dalam mengajukan, memeriksa, memutuskan dan melaksanakan putusan tentang tuntutan hak dan kewajiban tertentu sehingga menjamin terlaksananya hukum perdata (materiel) melalui lembaga peradilan.

Sumber Hukum Acara Perdata:

1.    HIR/RIB (untuk golongan Bumi Putra-Timur Asing di Pulau Jawa-Madura);
2.    RBG (untuk golongan Bumi Putra-Timur Asing di luar Jawa-Madura);
3.    UU No. 20 Tahun 1947 (Prosedur banding untuk Jawa & Madura, tapi praktek berlaku juga  
        seluruh Indonesia);
4.    KUHPerdata;
5.    UU tentang Kekuasaan Kehakiman;
6.    UU tentang Peradilan Umum dan Tentang Mahkamah Agung;
7.    UU tentang Perkawinan (No.1/1974);
8.    UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
9.    RV (Reglemen op deburgerlijke rectvordering) terutama aturan-aturan tentang penggabungan
       (voeging), penjaminan (vrijwaring), intervensi dan rekes sipil;
10.    Peraturan Mahkamah Agung RI;
11.    Surat Edaran Mahkamah Agung RI;
12.    Yurisprodensi.


  1. Bahan Kuliah  Mata Ajar  Praktek Hukum Perdata
   2. DOSEN BIASA Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta

I. SURAT KUASA

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat Surat Kuasa untuk mengajukan Gugatan:

1.    Identitas dan alamat pemberi kuasa dan penerima kuasa;
2.    Kewenangan pemberi kuasa;
3.    Dibuat secara khusus, dlam hal:
-    khusus menangani suatu pokok/objek perkara;
-    khusus dalam hal untuk apa kuasa diberikan;
-    khusus satu tingkat peradilan atau di pengadilan mana suatu gugatan diajukan;
-    kusus mengenai dasar hukum suatu gugatan;
-    khusus mengenai pihak-pihak yang digugat;
4.    Surat Kuasa cukup dibuat dibawah tangan dan bermeterai cukup;
5.    Surat Kuasa yang dibuat di luar negeri harus dilegalisasi oleh perwakilan RI di Negara setempat;

Surat Edaran MARI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa khusus mengatur tentang sangat perlunya kekhususan sebuah Surat Kuasa.

Dalam praktek seringkali gugatan dinyatakan tidak diterima (NO/niet ontvanklijk verklaard)  karena tidak khususnya suatu Surat Kuasa.

II. GUGATAN

Isi dan substansi suatu Gugatan:

Berdasarkan pasal 8 ayat (3) RV, Isi suatu surat Gugatan harus memenuhi beberapa hal :
1.    Identitas dan alamat para pihak, baik dirinya sendiri maupun kuasanya;
2.    Posita (fundamentum petendi) atau duduk persoalan yang menjadi masalah (factual ground)
       disertai dasar-dasar hubungan hukum yang ada (legal ground);
3.    Petitum gugatan atau permohonan yang diminta dari suatu gugatan:- primair (tuntutan pokok)
       - subsidair (tuntutan pengganti/biasanya : mohon putusan yang seadil-adilnya)

Prosedur Pengajuan Gugatan

Tata cara / prosedur mengajukan gugatan, sebagai bberikut:
1.    Gugatan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri,3)  diajukan secara tertulis dibuat rangkap 5 (lima), aslinya ditandatangani diatas meterai. Dalam hal Tergugat lebih dari satu, maka surat gugatan ditambah sesuai dengan banyaknya (jumlah) tergugat;

2.    Gugatan harus memuat secara jelas identitas para pihak, fundamentum petendi, alasan-alasan serta dasar hukum dari tuntutan dan petitum;

3.    Gugatan diajukan sendiri oleh penggugat atau dapat juga diajukan oleh kuasanya yang sah dengan melampirkan surat kuasa khusus yang sudah didaftar terlebih dahulu di bagian hukum;

4.    Gugatan diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri bagian Perdata yang khusus menangani pendaftaran gugatan (Meja I), untuk dicatat dan diberi nomor (register);

5.    Melakukan pembayaran biaya pendaftaran gugatan berdasarkan Surat Keterangan Untuk Membayar (SKUM) yang dikeluarkan oleh Panitera Pengadilan (Meja I);

6.    SKUM dibayar kemudian diserahkan ke Meja II, petugas Meja II meregistrasi ulang dan menyerahkan salinan resmi gugatan dan Surat Kuasa yang telah diberi nomor dan stempel pengadilan kepada penggugat;

7.    Dalam waktu 2-3 minggu (tergantung pengadilan) Ketua Pengadilan Negeri membentuk Tim Majelis Hakim yang akan menangani perkara tersebut, dengan menurunkan berkas tersebut kepada Panitera Muda Perdata, selanjutnya didistribusikan perkara tersebut kepada Majelis Hakim;

8.    Atas perintah Ketua Majelis Hakim, Panitera Muda Perdata melalui Juru Sita/pengganti memanggil para pihak yang berperkara. Selanjutnya Majelis Hakim memeriksa, dan memutuskan perkara. Setelah itu putusan diserahkan oleh Majelis Hakim kepada Panitera Muda Perdata untuk diminutasi;
--------------------------------------------------------------
3) Pasal 118 HIR menentukan (1) Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat, (2) Jika tergugat lebih dari satu di Pengadilan Negeri salah satu tergugat, (3) Jika tidak diketahui tempat tinggal tergugat di PN tempat objek sengketa, (4) Jika para pihak telah memilih tempay penyelesaian, gugatan dapat diajukan ke PN yang dipilih/disepakati;

Prosedur Persidangan Perdata 
a.    Majelis hakim setelah menerima berkas perkara dalam waktu 7 (tujuh) hari harus menetapkan hari siding;

b.    Setelah hari sidang ditetapkan, Panitera menunjuk Jurusita untuk memanggil para pihak yang berperkara untuk menghadiri siding yang telah ditetapkan;

c.    Bila pada hari sidang yang telah ditetapkan Penggugat tidak hadir, Majelis memerintahkan memanggil sekali lagi dan jika tidak datang juga gugatan digugurkan;

d.    Jika Tergugat yang tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, Majelis Hakim memerintahkan untuk memanggi lagi (sampai 3X panggilan) dan jika ternyata tidak hadir juga tanpa alasan yang sah atau tidak mengirimkan wakilnya, maka Majelis Hakim melanjutkan pemeriksaan dan memutuskan perkara tanpa kehadiran tergugat (Verstek);

e.    Setelah para pihak hadir dalam persiidangan, maka Majelis Hakim membuka siding pertama, dengan berusaha menganjurkan kepada para pihak untuk berdamai (MEDIASI) sebelum proses persidangan dilanjutkan, yaitu menunjuk mediator agar perkara dapat diselesaikan dengan cara mediasi;4)

f.    Jika usaha perdamaian melalui mediasi tidak berhasil, maka tergugat dapat mengajukan jawaban5) , dalam jawaban tersebut tergugat dapat juga mengajukan gugatan balik terhadap penggugat (rekonpensi), sehingga kedudukan tergugat menjadi penggugat rekonpensi dan penggugat asal (konpensi) berubah menjadi tergugat rekonpensi;

g.    Kemdian pemeriksaan berlanjut dengan jawab menjawab, yaitu Replik sebagai jawaban penggugat atas jawaban tergugat dan Duplik sebagai jawaban tergugat atas eplik penggugat. Dalam proses jawab menjawab ini dapat juga terjadi Intervensi6)  atau ikutnya pihak ketiga dalam suatu perkara yang sedang diperiksa.

h.    Setelah jawab menjawab, para pihak diberi kesempatan untuk membuktikan dalilnya masing-masing melalui persidangan dengan cara pembuktian;

i.    Tahap selanjutnya para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan dari keseluruhan proses persidangan yang telah dilalui; 7)

j.    Atas semua proses persidangan yang telah dilalui, maka puncak dari suatu pemeriksaan perkara/gugatan adalah mendengarkan Putusan Majelis Hakim;
-------------------------------------------------------------------
4)  Berdasarkan PERMA RI No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, waktu untuk menyelesaikan mediasi perkara dibatasi selama 41 (empat puluh satu) hari. Setelah waktu tersebut tercapai ataupun tidak perkara harus diserahkan kepada Majelis Hakim yang memeriksanya.
5) JAWABAN dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Eksepsi (jawaban diluar pokok perkara) dan  Pokok Perkara. Eksepsi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: a) Eksepsi Kompetensi (absolute & relatief), b) Eksepsi Non Competensi (gugatan tidak jelas, nebis in idem, kualitas penggugat, premature dsb).
6)  INTERVENSI dapat dibagi menjadi 3 jenis: a) Voeging: untuk membela kepentingan salah satu pihak, b) Tussemkomst: membela kepentingan diri sendiri, c) Vrijwaring: ditarik/diminta salah satu pihak sebagai penanggung/pembebas menurut hukum;
7)  Biasanya acara KESIMPULAN ini oleh para pihak digunakan untuk memberikan tanggapan atas pembuktian baik surat maupun saksi yang diajukan oleh para pihak, disamping menyimpulkan seluruh proses jawab menjawab;

III. PENYITAAN (Beslag)

Penyitaan merupakan suatu tindakan yang diambil oleh pengadilan melalui penetapan hakim, atas permohonan Penggugat, guna menempatkan barang (milik penggugat atau tergugat) berada dalam penguasaan/pengawasan pengadilan, sampai adanya suatu putusan yang pasti tentang suatu perkara, untuk menjamin dapat dilaksanakannya suatu putusan perdata. Penyitaan juga dimaksudkan agar barang yang disita tidak dipindah tangankan.

Jenis-jenis penyitaan:
             a.  Sita jaminan thdp barang milik tergugat:
     - Sita jaminan (Conservatoir Beslag) Pasal 227 HIR;

b. Sita jaminan terhadap barang milik sendiri:
   - Revindicatoir Beslag (Sita atas barang yang berada  
      pada tergugat atau orang lain) Pasal 226 HIR;
   - Marital Beslag (Sita atas harta perkawinan) Pasal 190
      KUHPerdata;
   - Pand Beslag (Sita Gadai) Pasal 1139, 1140 KUHPerdata

Prosedur mengajukan Sita

1.    Permohonan diajukan secara terpisah dengan gugatan, dengan menyebutkan secara jelas mengenai objek, luas, nomor dan letak objek yang dimohonkan sita;

2.    Pertmohonan sita diajukan kepada Ketrua Pengadilan Negeri atau kepada Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut;

3.    Penetapan sita;

4.    Permohonan pelaksanaan sita kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan melakukan pembayaran SKUM, di mana biaya SKUM tersebut dibayarkan jumlahnya tergantung jumlah objek yang disita;

5.    Ketua Pengadilan Negeri menentukan jadwal penyitaan dan menunjuk 3 (tiga) oorang Juru Sita atau Juru Sita Pengganti yang cakap/mampu bertindak untuk melakukan penyitaan dan yang ain bertindak sebagai saksi;

6.    Juru Sita atau JS pengganti datang ke tempat objek sita dengan membawa Berita Acara Penyitaan dan melakukan penyitaan terhadap objek sita dengan disaksikan oleh Juru Sita  yang lain;

7.    Setelah penyitaan dilaksanakan, maka JS menyerahkan salinan Berita Acara Penyitaan  kepada pemilik objek yang disita, atau apabila pemiliknya tidak berada ditempat, maka ditiipkan kepada orang yang menjaga objek sita atau dititipkan kepada Kelurahan;

8.    Selanjutnya JS mendaftarkan pelaksanaan sita tersebut kepada instansi terkait untuk sahnya peletakan sita tersebut. Sebagai contoh untuk sita atas tanah didaftarkan kepada kantor pertanahan setempat (BPN);

9.    Untuk memenuhi azas publisitas, biasanya peletakan sita diumumkan di media massa, akan tetapi tidak wajib dilakukan;

10.Dalam hal gugatan penggugat dikabulkan dan sita jaminan   yang telah diletakkan dinyatakan sah dan berharga, maka penggugat dapat mengajukan eksekusi terhadap objek sita tersebut setelah putusan perkara mempunyai kekuatan hukum mengikat (in-kraht). Demikian juga sebaliknya jika gugatan penggugat dinyatakan ditolak/tidak dapat diterima dan penggugat tidak mengajukan upaya hukum, maka peletakan sita tersebut dinyatakan tidak berharga dan harus diajukan pengangkatan sita atas objek tersebut;

IV. PEMBUKTIAN

Pembuktian secara juridis adalah penyajian fakta-fakta yang cukup untuk memberikan kepastian kepada hakom tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum.8)

Alat-alat bukti

a) Surat, terdiri dari:
    1. Akta Otentik;
       diatur dalam pasal 165 HIR ( lihat juga psl 1868 KUHPerdata)
2. Akta di bawah tangan
       diatur dalam pasal 1874-1880 KUHPerdata;
    3. Surat-surat lain yang bukan akta
        diatur dalam pasal 1881  dan pasal 1883 KUHPerdata    
         (catatan-catatan dibelakang alas hak)
     4. Salinan
         Diatur dalam pasal 1888 KUHPerdata
         (diakui sepanjang sesuai dengan aslinya).

b) Alat bukti Saksi
    Diatur dalam Pasal 168-172 HIR
    Dalam pembuktian saksi hendaknya digunakan lebih dari satu orang saksi, karena keterangan saksi tanpa didukung alat bukti lain tidak dapat dipercaya (psl 169 HIR);

c) Keterangan Ahli
    Diatur dalam pasal 154 HIR

d) Persangkaan / dugaan (diatur dalam Pasal 173 HIR)
     Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata kearah perisrtowa lain yang belum terang kenyataannya.

e) Pengakuan (bekentenis)
    Diatur dalam pasal 174 – 176 HIR, psl 1923- 1928 KUHPerdata
    Pengakuan dimuka hakim merupakan bukti sempurna bagi orang yang memberikan pengakuan baik diucapkan sendiri maupun perantaraan kuasanya.

f) Sumpah
    HIR menyebutkan 3 macam sumpah
    - sumpah suppletoir (pelengkap) Pasal 155 HIR dan pasal 1940 KUHPerdata;
    - sumpah aestimatoir (penaksir) pasal 155 HIR dan pasal 1940 KUHPerdata;
    - sumpah decisoir (pemutus) pasal 156 HIR dan 1830 KUHPer;

g) Pemeriksaan setempat (descentre)
    Diatur dalam pasal 164 HIR dan pasal 1866 KUHPerdata
    Dengan pemeriksaan setempat hakim mendapat kepastian tentang peristiwa yang dikemukakan dalam persidangan.
____________________________________________________________
8)  Pasal 163 HIR menentukan: a) barangsiapa mendalilkan hak, maka harus membuktikan adanya hak itu, b) barangsiapa menyebut sutu peristiwa yntuk meneguhkan haknya, maka harus membuktikan adanya hak itu, c) Barangsiapa menyebutkan peristiwa untuk membantah hak orang llain, maka harus membuktikan adanya peristiwa itu.

V.  PUTUSAN

Jenis-jenis putusan
- Putusan Sela yaitu putusan sebelum diputus pokok perkara dengan tujuan untuk mempermudah atau memperlancar persidangan;
- Putusan Akhir, yaitu putusan yang berkaitan dengan pokok perkara:

1. Putusan Sela dapat dibedakan dalam bentuk:
- Putusan preparatoir: yaitu putusan untuk mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara, dimana putusan ini tidak mempengaruhi pokok perkara (mis: putusan pemeriksan ditempat);

- Putusan insidentil, yaitu putusan yang dijatuhkan berkaitan dengan adanya kejadian yang menunda kelangsungan proses pemeriksaan perkara ;

- Putusan provisional, yaitu putusan yang bertujuan untuk menetapkan suatu tindakan sementara / pendahuluan bagi kepentingan salah satu pihak (mis: menyatakan objek perkara status quo).

2) Putusan Akhir, dapat dibedakan dalam bentuk:

    - Putusan declalatoir, yaitu putusan yang bersifat menegaskan
      suatu keadaan hukum (seperti kedudukan waris atau anak);

    - Putusan constitutive, yaitu putusan yang bersifat menetapkan
      suatu keadaan baru atau menghapuskan keadaan hukum yang
      telah ada (seperti: putusan pailit, perceraian, pembatalan
      perjanjian);

   - Putusan Condemnatoir, yaitu putusan yang bersifat menghukum salah satu pihak atau kedua belah pihak utk memenuhi  prestasi  tertentu;

ISI PUTUSAN

Pasal 183, 184, 187 HIR mengatur apa yang harus dimuat dalam suatum keputusan hakim, yang terdiri dari:
-    Kepala Putusan;
-    Nomor register perkara;
-    Nama pengadilan yang memutus perkara;
-    Identitas para pihak;
-    Tentang duduknya perkara;
-    Pertimbangan hukum;
-    Amar putusan;
-    Tanggal musyawarah;
-    Putusan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum;
-    Hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan;

Upaya hukum terhadap putusan

- sifat dan berlakunya upaya hukum ini berbeda, tergantung pada apakah upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa pada asasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang, dimana wewenang untuk menggunakannya hapus dengan diterimanya putusan. Upaya hukum iasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara, seperti perlawanan (verzet), banding dan kasasi;

- Upaya hukum istimewa / luar biasa dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam undang-undang, seperti peninjauan kembali;

VI. BANDING
Terhadap putusan Pengadilan Negeri, jika salah satu pihak baik penggugat maupun tergugat merasa putusan tersebut belum atau kurang memenuhi rasa keadilannya, maka dapat meminta pemeriksaan banding kepada Pengadilan Tinggi. Tujuannya adalah  memeriksa ulang fakta maupun penerapan hukum serta putusan akhir Pengadilan Negeri

Prosedur Mengajukan Banding (pasal 199–2002 Rbg)
-    Permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, dalam tenggang waktu 14 hari terhitung setelah pembacaan putusan atau setelah putusan pengadilan diberitahukan kepada pemohon secara sah jika pemohon banding tidak hadir;

-    Pemohon banding harus menyatakan banding, dengan menandatangani Akta Pernyataan banding dan melakukan pembayaran uang muka biaya perkara banding sesuai SKUM;

-    Panitera mencatat dalam daftar perkara dan memberitahukan kepada pihak terbanding, selambat-lambatnya 14 hari setelah permohonan banding;

-    Kedua belah pihak diberi kesempatan melihat berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam tenggang waktu 14 hari sebelum dikirim ke Pengadilan Tinggi (in-zage);

-    Memori banding dan atau kontra memori banding dapat (tidak wajib) diserahkan setiap saat selama perkara belum diputus;

VII. KASASI
      - Pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan tingkat banding. sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 3 jo 29 UU No. 14 tahun 1970 jo psl 43 UU No. 14 tahun 1985 dan jo Pasal 30 UU No. 5 tahun 2004.

Prosedur Mengajukan Kasasi
-    Permohonan Kasasi harus diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung RI melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama dalam tempo 14 hari terhitung sejak diterimanya Putusan pada tingkat banding, dengan menandatangani Akta Pernyataan Kasasi dan membayar biaya kasasi sesuai SKUM;

-    Pemohon kasasi wajib menyerahkan Memori Kasasi paling lambat 14 hari sejak permohonan kasasi didaftarkan dengan mengajukan alasan-alasan yang relevan;

-    Panitera memberitahukan dan menyerahkan Memori Kasasi kepada pihak lawan / terbanding selambat-lambatnya 30 hari sejak diterimanya Memori Kasasi;

-    Pihak lawan / terbanding harus menyerahkan Kontra memori Kasasi selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari sejak dterimanya pemberitahuan tersebut;

-    Panitera Pengadilan Negeri menyerahkan berkas perkara kepada Kepaniteraan Mahkamah Agung RI dalam waktu 30 hari sejak diterimanya Kontra Memori Kasasi;

-    Peraturan Mahkamah Agung (PERMA RI) No. 1 tahun 2001 mengatur :
“Keterlambatan pengajuan Memori Kasasi dan/atau Kontra Memori Kasasi mengakibatkan permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima atau dapat diterima atau dapat ditolak oleh Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tingkat pertama.

Alasan-alasan mengajukan Kasasi:
1).  Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

2). Hakim salah dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum    yang berlaku;

3).   Hakim lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangan yang akibat kelalaian tersebut dapat mengancam batalnya putusan yang bersangkutan; 


VIII. PENINJAUAN KEMBALI

Peninjauan kembali (Psl 66 UU No. 14 Thn 1985 dan psl 393 HIR)
-    Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanan putusan pengadilan. Permohonan PK dapat dicabut selama perkara belum diputuskan ddan hanya dapat diajukan satu kali.

Alasan-alasan untuk dapat mengajukan  PK (psl 67 UU No. 14 Tahun 1985)

a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat yang dilakukan pihak lawan, yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b)    Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut;
d)    Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e)    Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f)    Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata;

Tenggang Waktu Mengajukan PK

Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan PK atas dasar alasan seperti terdapat dalam pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 tersebut adalah dalam tempo 180 (seratus delapan puluh) hari, untuk :
a)    putusan yang didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat (huruf a), maka tempo 180 hari dihitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat yang dilakukan oleh pihak lawan tersebut, atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara;

b)    alasan karena ditemukannya surat-surat bukti baru / novum (huruf b), maka jatuh tempo 180 hari dihitung sejak ditemukannya novum tersebut, dimana hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;

c)    untuk alasan yang disebut pada huruf c, d, e dan f, maka 180 hari tersebut dihitung sejak putusan tersebut memperolah kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara;

Prosedur Mengajukan Peninjauan Kembali 
-    Permohonan PK harus diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung RI melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama;

-    Pemohon PK harus menyerahkan Memori PK disertai alasan-alasan yang dijadikan dasar permohonan. Memori PK diajukan pada saat mengajukan  permohonan PK dengan menandatangani Akta Pernyataan PK dan membayar biaya PK sesuai dengan SKUM;

-    Panitera memberitahukan dan menyerahkan Memori PK kepada pihak lawan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari sejak diterimanya permohonan PK tersebut;

-    Pihak lawan dapat menyerahkan Kontra memori PK kepada Mahkamah Agung RI melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan dan Memori PK tersebut;

-    Tujuan pengiriman salinan PK adalah untuk memberikan kesempatan bagi pihak lawan untuk mengajukan jawaban dan agar pihak lawan dapat mengetahui dengan jelas alasan PK tersebut;

IX. PERLAWANAN

Perlawanan (verzet)

Verzet merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (pasal 125 ayat 3 jo 129 HIR). Pada dasarnya Perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada umumnya dikalahkan dalam putusan verstek. Akan tetapi jika Penggugat tidak puas dengan putusan verstek maka tidak dimungkinkan baginya untuk mengajukan verzet, tapi dengan cara mengajukan banding (Pasal 8 ayat 1 UU No. 20/1947)

PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET (Perlawanan/Bantahan)

-    Permohonan verzet hanya dapat diajukan satu kali, dan harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang menjatughkan putusan semula dalam tempo 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan verstek tersebut kepada tergugat;

-    Permohonan Verzet dilakukan seperti mengajukan surat gugatan biasa dengan melakukan pembayaran biaya perkara sesuai SKUM;

-    Kedudukan pemohon verzet (tergugat) tetap sebagai tergugat dan kedudukan penggugat awal tetapsebagai penggugat. Oleh karena itu pihak yang mengajukan pembuktian terlebih dahulu adalah pihak penggugat (terlawan);

-    Verzet menangguhkan eksekusi, kecuali putusan verstek dijatuhkan secara serta merta (uitvoerbaar bij vooraad).


X. EKSEKUSI

-    Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dimana putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan atas apa yang ditetapkan dalam putusan tersebut, kalau perlu secara paksa oleh aparat Negara. Dimana yang memberikan kekuatas eksekutorial itu adalah irah-irah: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

-    Permohonan eksekusi harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri,  karena Pengadilan Negeri satu-satunya institusi yang berwenang melaksanakan putusan.

MACAM MACAM EKSEKUSI

-    Eksekusi Riil, eksekusi ini dalam praktek sering dilakukan, tetapi tidak diatur secara tegas dalam
     HIR, hanya diatur dalam pasal 1033 RV mirip Pasal 200 ayat (1) HIR, seperti : pengosongan,
     eksekusi hak tanggungan, dll;

-    Parate Eksekusi (Eksekusi langsung) yang diatur dalam pasal 1155 KUHPerdata (gadai), dimana
      seorang kreditur menjual tanpa mempunyai title eksekutorial;

-    Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang atau 
      untuk melakukan suatu perbuatan tertentu (pasal 196 dan 225 HIR)

Tahap-tahap Permohonan Eksekusi

Landasan yuridisnya: Pasal 14 ayat (2), pasal 20 ayat (1) UU No, 4 tahun 1996:

1.    Tahap Aanmaning (Pasal 196 HIR)
a.    Permoohonan Aanmaning;
b.    Penetapan Aanmaning;
c.    Panggilan terhadap debitur, penjamin atau pemberi jaminan dalam waktu paling lama 8 hari,
       maksimal 2 kali pemanggilan;
d.    Berita Acara Aanmaning;

2.    Tahap Sita Eksekusi (pasal 197 HIR)
a.    Permohonan Sita Eksekusi;
b.    Penetapan Sita Eksekusi;
c.    Pelaksanaan Sita Eksekusi;
d.    Berita Acara Eksekusi.

3.    Tahap Lelang (Penjualan di muka umum – Pasal 200 HIR)
a.    Permohonan Lelang;
b.    Penetapan Lelang;
c.    Koordinasi PN dengan kantor Lelang --- Jadwal lelang
d.    Pengumuman dalam waktu 2 x 14 hari (eksekusi HT)
e.    Pelaksanaan Lelang ---- Risalah Lelang.

4.    Tahap Pengosongan
a.    Permohonan pengosongan
b.    Penetapan Aanmaning;
c.    Penetapan pengosongan;
d.    Pemberitahuan Eksekusi pengosongan;
e.    Berita Acara Pengosongan.


PROSES EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN


PERMOHONAN                           1. Surat Kuasa Eksekusi Hak Tanggungan          
                                                       2. Bukti di nazegelen (pemeteraian)
                                                       3. SKUM

PENDAFTARAN                       1. Nomor perkara
                                                    2. Tanda Bukti

AANMANING                           1. Penetapan
                                                    2. panggilan kepada Termohon Eksekusi.
                                                     3. Ditegur dalam waktu 8 hari

SITA EKSEKUSI                         1. Permohonan Sita
                                                     2. Biaya Sita                  
                                                     3. Penetapan sita 
                                                     4. Berita Acara Sita

EKSEKUSI LELANG                 1. Penetapan Lelang
                                                     2. Tanggal lelang
                                                     3. SKPT
                                                     4. Peserta lelang
                                                     5. Harga limit
                                                     6. pengumuman Lelang

DILELANG                               Pelaksanaan Lelang
                                                    - Risalah lelang
                                                    - Kwitansi Pembayaran lelang dan Bea lelang

DITUNDA                                   Proses perkara (?)

PERMOHONAN LELANG LANJUTAN.

HAMBATAN-HAMBATAN LELANG 

Dari KREDITUR            1. membuat plafon terlalu rendah, sehingga ditolak KPN;
                                        2. Tidak menyiapkan harga lelang
                                         3. Berdamai dengan  Debitur sebelum lelang.

Dari PENGADILAN            1. Ditunda oleh KPN, dengan alasan:
                                                  a.    harga limit tidak tercapai;
                                                  b.    ada bantahan;
                                                  c.    Permohonan penundaan dari Debitur dikabulkan.
                                            2. Surat Sakti dari KPT atau dari MA


dari DEBITUR                   1. Menggugat- gugatan
                                            2. Membantah– bantahan pihak ketiga
                                            3. Minta fatwa ke PT atau MA;
                                            4. Menghalangi lelang dengan pembeli
                                                fiktif;
                                            5. Tidak ada persetujuan dari istri /
                                                suami atau persetujuan komisaris
                                            6. sertifikat Asli tapi palsu (aspal).

Jumat, 01 Maret 2013

SAP HUKUM DAGANG



SATUAN ACARA PERKULIAHAN HUKUM DAGANG
FAKULTAS HUKUM UIKHA SMESTER IV


Pengajar : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH.


Pokok Bahasan

Sasaran Pembelajaran
  Sumber / Bacaan
          Wajib
Pendahukuan
A. Pengertian Hkm Dgng
B. Sumber-sumber Hkm
    Dagang.
C. Hub KUHPer & KUHD
D.Sistematika KUHD
Memberi gambaran seca ra umum tentang penger tian dan sumber-sumber hukum dagang.
1. Pengantar Ilmu Hukum
   (Van Aveldoren);
2. Pengertian Pokok Hukum
    Dagang (HMN Purwosu
    tjipto);
3. KUHD, UU PT, UUPMA,   
    UU Perbankan, dll.

Hukum Kontrak
A. Pengertian:
B.Macam-macamKontrak
C. Asas & Persyaratan
    Kontrak
D. Pelaksanaan & bera
    khirnya kontrak;
E. Itikad baik & Keadaan
    Memaksa


Menjelaskan pengertian, macam-macam, asas dan persyaratan serta pelak
Sanaan serta berakhir
nya kontrak, serta itikad baik dan keadaan memaksa dalam suatu kontrak.



1. KUHPerdata;
2. KUHDagang;
3. Hukum Perikatan (Abdul
    Kadir Muhamad);
4. Hukum Perjanjian (R.
    Subekti);



Hukum Perusahaan
A. Pengertian
B. Pilihan Bentuk Usaha
C. BU Persekutuan
    1. Persktuan Perdata
    2. Persekutuan Firma
    3. Prsktn Komanditer
    4. Aspek Hkm Intern
        persekutuan;
    5. Aspek Hkm Extern
        persekutuan;
    6. Berakhirnya Prsktn
D. Bentuk Usaha Perse
    roan Terbatas
1.     Karateristik PT
2.    Proses pembentukn
3.    Organ PT
a. RUPS
        b. Direksi & Kmsris
   4.  Modal & Saham
E. Masalah Pembukuan
    Perusahaan;


Hukum Surat Berharga
A. Pengertian dasar
B.  Hakekat Surat Ber
     Harga
C.  Hubungan hukum
     Dlm Surat Berharga
D. Macam-macam Surat
    Berharga;


Pedagang Perantara
A. Prinsip dasar;
B. Sumber hukum kegia-
    tan pdgang perantara
C. Macam-macam peda-
    Gang perantara:
1.     Bursa dagang;
2.    Makelar;
3.    Kasir;
4.    Komisioner;
5.    Ekspeditur
6.    Penangkut;




Hukum Asuransi
A. Defenisi
B. Pembatasan Perjanji
    an Asuransi
C. Jenis-jenis Asuransi
D. Hal-hal yang diatur
    Dalam Perjanjian Asu
    ransi.


Hukum
Pengangkutan
A. Defenisi Perjanjian
B. Pengangkutan Darat
C. Pengangkutan Laut


Hukum Kepailitan
A. Pengertian
B. Pernyataan Pailit
    1.Syarat-syarat peng
      ajuan pailit;
    2. Para pihak
    3. Acara permohonan
        pailit;
4.    Upaya hukum
C. Akibat-akibat hukum
    Pernyataan Pailit;
D. Pengurusan Harta
    Pailit
E. Pencocokan Tagihan
F. Berakhirnya kepaili-
    Tan;
G. PKPU (Penundaan Ke
    Wajiban Pembayaran
    Utang).




Menjelaskan mengenai pengertian dan bentuk- bentuk usaha ( perseku
Tuan dan Perseroan Ter
batas), proses pembentu
kan, organ-organ  serta masalah pembukuan  pe
rusahaan.
















Menjelaskan pengertian
Dasar, hakekat, macam-
Macam Surat Berharga serta hubungan hukum  yang menyertainya.





Menjelaskan prinsip da-
Sar, sumber hukum ser
ta macam-macam peda
gang peran tara.












Menjelaskan tentang de
fenisi, pembatasan, jenis dan hal-hal yang diatur dalam perjanjian asuransi.





Menjelaskan defenisi pe
rjanjian pengangkutan darat dan laut.




Menjelaskan tentang pe
Ngertian, tatacara per-
Mohonan serta akibat
Pernyataan pailit, dan pembahasan tentang Pe-
Nundaan pembayaran pa
Ilit;



1. KUHD;
2. UU No. 1 Tahun 1995
    tentang Perseroan Terba
    tas
3. Pengertian Pokok Hukum
    dagang Indonesia (HMN   
    Purwosutjipto);
4. KUHPerdata;
5. UU No. 3 Tahun 1982 ten
    tang Wajib Daftar Perusa
    haan.
6. Hukum Perusahaan Indone
   sia ( Abdul Kadir Muhamad)
7. Hukum Dagang Indonesia
    (R. Soekardono)
8. Badan Hukum dan kedudu
    kan Badan Hukum Persero
    an, Perkumpulan, Koperasi,
    Yayasan dan Wakaf ( Ali
    Ridho )









1. KUHDagang;
2. UU No. 8 Tahun 1995 Ten
    tang Pasar Modal;
3. Pengertian Pokok Hukum
    Dagang Indonesia (HMN
    Purwosutjipto).






1. KUHDagang;
2. UU No. 8 Tahun 1995 ten
    tang Pasar Modal;
3.













1. KUHD;
2. Pokok-pokok Hukum Perda
    ta (Prof. Subekti)









1. KUHD;
2. Pokok-pokok Hukum Per-
    data.






1. KUHD;
2. UU Kepailitan;
3. UU No. 4 tahun 1998 ten
    tang Penetapan PERPU
    No.1 tahun 1998 Tentang
    Perubahan atas UU tentng
    Kepailitan menjadi UU No.
    4 tahun 1998.
4. Pokok-pokok Hukum Per
    data