Selasa, 22 Desember 2009

Contoh : Perkara Hukum Perdata International


Selasa, 18 Desember 2012
UU Arbitrase Tak Mengenal Upaya Hukum PK
Menyangkut eksekusi putusan arbitrase International Chamber of Commerce di Indonesia.
RIMBA SUPRIYATNA
http://images.hukumonline.com/frontend/lt50d03dab0f7f2/lt50d120c1ac799.jpg
Gedung International Chamber of Commerce. Foto: http://www.treehugger.com

Upaya hukum luar biasa PT Pertamina EP dan PT Pertamina (Persero) untuk mempersoalkan putusan arbitrase International Chamber of Commerce di pengadilan Indonesia kandas sudah. Melalui putusan No. 56 PK/Pdt.Sus/2011, Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Pertamina EP dan PT melawan PT Lirik Petroleum.

Majelis yang dipimpin Hakim Agung Prof. Mieke Komar menyatakan putusan banding ke Mahkamah Agung dalam rangka permohonan pembatalan arbitrase adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir. Majelis menunjuk ketentuan pasal 72 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). “Oleh karena putusan banding Mahkamah Agung adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir, maka dengan demikian Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak mengenal upaya hukum luar biasa peninjauan kembali,” urai majelis dalam pertimbangan putusan.

Putusan sebenarnya sudah dibacakan pada Agustus tahun lalu. Namun Anita Kolopaking, pengacara Lirik, mengatakan belum mendapatkan salinan putusan resmi. “Saya belum mendapatkan salinan putusannya,” ujarnya kepada hukumonline melalui telepon. M. Hakim Nasution, pengacara Pertamina EP, juga memberi pengakuan serupa. Berdasarkan salinan putusan yang sudah dipublikasikan lewat laman Mahkamah Agung, terungkap bahwa perseteruan Lirik dan Pertamina berkaitan dengan pengembangan empat lapangan minyak, yakni Molek, Pulai Utara, Pulai Selatan, dan Lirik. Setelah Lirik melakukan pengembangan di empat lokasi, ternyata hanya lapangan Lirik yang dinyatakan komersial. Dengan dalih sudah mengeluarkan biaya tak sedikit, Lirik meminta ganti rugi sesuai Enhanced Oil Recovery (EOR) Contract yang diteken bersama.
Lantaran menilai Pertamina wanprestasi, Lirik membawa masalah ini ke forum yang disepakati, yakni International Chamber of Commerce (ICC). Arbiter di kamar dagang internasional yang berpusat di Perancis itu memutuskan mengabulkan sebagian tuntutan lirik. Pertamina EP dan Pertamina diharuskan membayar AS$34,49 juta atau sekitar 344,9 miliar kepada Lirik. Agar bisa dieksekusi, Lirik mendaftarkan putusan ICC itu ke PN Jakarta Pusat pada April 2009. Namun Pertamina melawan, meminta pembatalan putusan ICC, baik putusan awal (partial award) maupun putusan akhir (final award). Permohonan Pertamina kandas karena dinilai tak memenuhi syarat Pasal 70 UU Arbitrase.

Berdasarkan pasal 70 tersebut, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan arbitrase jika putuannya mengandung salah satu dari tiga unsur. Pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. Ketiga, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pertamina EP dan Pertamina mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Namun, lewat putusan No. 904 K/Pdt.Sus/2009 yang diwarnai dissenting opinion dari hakim agung Prof. Rehngena Purba, Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Rehngena menilai tindakan Pertamina menolak status komersial atas lapangan minyak Molek, Pulai Selatan dan Pulai Utara adalah kebijakan untuk menyelamatkan negara dari kerugian yang dapat mengganggu stabilitas negara.

Atas putusan Mahkamah Agung itu, PN Jakarta Pusat kemudian menerbitkan aanmaning (teguran) dan memerintahkan Pertamina menghadap pada 17 November 2009. Pertamina diminta mematuhi putusan ICC.
Pertamina mengajukan perlawanan atas eksekusi. Pada 15 April 2010, PN Jakarta Pusat memutuskan menolak perlawanan Pertamina. Namun Pertamina bisa bernafas lega di tingkat banding. Pengadilan Tinggi Jakarta, putusan pada 5 April 2011, menyatakan putusan arbitrase ICC Case No. 14387/JB/JEM tidak dapat dieksekusi. Pengadilan juga menyatakan Pertamina EP dan Pertamina adalah pelawan yang baik.

Keberatan atas putusan ini, giliran Lirik yang mengajukan kasasi. Majelis kasasi yang dipimpin hakim agung H. Mohammad Saleh mengabulkan permohonan kasasi tersebut (putusan No. 144 K/Pdt/2012). Majelis menganggap alasan atau dalil yang dikemukakan untuk mengajukan perlawanan atas eksekusi adalah sama dengan alasan permohonan pembatalan arbitrase. Putusan yang menolak permohonan pembatalan arbitrase sudah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, pada 24 Mei 2012, Mahkamah Agung menganulir putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menyatakan putusan ICC tak bisa dieksekusi.
Anita menilai putusan Mahkamah Agung sudah tepat. Upaya perlawanan dia nilai sebagai usaha mengulur waktu eksekusi. PT Lirik Petroleum akan mematuhi peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Agung. “Kami akan mengikuti sesuai dengan aturan hukum yang ada, prosesnya kami ladeni saja, kata Anita. Sementara, M. Hakim Nasution, pengacara Pertamina EP, menyatakan tak bisa memberikan penjelasan detail karena belum membaca putusan dan tak diberi wewenang untuk berbicara mengenai putusan tersebut. “Mohon maaf saya tidak dapat berkomentar lebih banyak. Saya belum diberi kewenangan untuk berbicara soal ini, pungkasnya. Hukumonline juga sudah berusaha menghubungi M. Yahya Harahap, kuasa hukum Pertamina, lewat telepon, namun tak diangkat.


PN Jakarta Selatan Berwenang Adili Gugatan Astro

[Hukumonline, Selasa, 22 December 2009]
Formulir berlangganan yang disepakati penyedia siaran dan pelanggan mengatur sudah forum penyelesaian sengketa.



Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengeluarkan putusan sela atas gugatan perwakilan kelompok (class action) pelanggan siaran berbayar Astro. Dalam putusan sela bernomor 1386/Pdt.G/2009/PN Jkt.Sel itu, majelis menolak eksepsi kewenangan mengadili atau kompetensi absolut yang diajukan Astro All Asia Network Plc Ltd (Tergugat V) dan Measat Broadcast Network System (tergugat VII). Oleh karena eksepsi kompetensi absolut kedua tergugat ditolak, majelis hakim yang diketuai Haswandy menyatakan PN Jaksel berwenang memeriksa dan memutus perkara ini. Dengan demikian, sidang untuk memeriksa pokok perkara tetap dilanjutkan, Senin (28/12) mendatang.

Dalam pertimbangannya, majelis bersandar pada bukti formulir berlangganan (subscription form) yang diajukan penggugat, berupa formulir bernomor 0924877 atas nama pelanggan Antony Raharja. Di dalam formulir itu, diatur forum mana yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan antara pelanggan dengan PT Direct Vision (tergugat I) sebagai penyedia siaran Astro. Di sana disebutkan forum penyelesaian adalah PN Jakarta Selatan atau pengadilan lainnya yang berwenang di Indonesia.

Cuma, sebelum menempuh jalur pengadilan, ada mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu. Dengan kata lain, perkara baru bisa dibawa ke pengadilan kalau kedua belah pihak tak mencapai kata sepakat atas perselisihan. “Menimbang bahwa bukti P1 (bukti penggugat) yakni surat bukti formulir berlangganan yang pada point 12 memuat hukum yang mengatur dan yurisdiksi. Yang berbunyi sebagai berikut: perjanjian ini diatur berdasarkan hukum Indonesia. Setiap perselisihan yang berkaitan dengan perjanjian ini terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah di antara PT Direct Vision dengan pelanggan,” papar Haswandy.

Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, Haswandy melanjutkan, “perselisihan akan diajukan pada yurisdiksi non eksklusif Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tanpa dibatasi hak PT Direct Vision untuk mengajukan perselisihan kepada pengadilan lain di Indonesia”. Dengan demikian, majelis berpendapat bahwa PN Jaksel berwenang memeriksa dan memutus perkara ini. “Oleh karena itu, perkara ini harus dinyatakan dilanjutkan,” imbuhnya.

Atas pertimbangan dan putusan majelis ini, salah satu kuasa hukum tergugat V dan VII, Prawidha Murti mengatakan perjanjian yang termuat dalam formulir berlangganan itu adalah antara pelanggan siaran Astro dengan PT DV. Bukan dengan Astro atau dengan tergugat lain. Sehingga, hubungan hukum yang terjalin, menurut Widha –sapaan akrab Prawidha- harusnya terputus sampai di PT DV saja. “Astro di sini, kan posisinya hanya sebagai supplier. Jadi harusnya sampai PT DV putus, nggak ada subscriber (memiliki hubungan hukum dengan Astro)”.

Widha melanjutnya, “kayaknya pertimbangan hakim loncat. PN Selatan dikatakan berwenang mengadili. Tapi, berwenang mengadili siapanya? Masa semuanya digeneralisir”. Namun, majelis hakim dalam pertimbangannya sudah menyatakan bahwa yang menjadi pokok gugatan tidak hanya sebatas hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat I (PT DV). Melainkan juga dengan para tergugat lainnya, yang menurut penggugat adalah sebagai penyelenggara jasa siaran televisi berbayar dengan merk Astro di Indonesia. “Jadi, bukan tentang hubungan hukum yang berkaitan dengan kewenangan arbitrase yang termuat dalam pokok klausul 17 Subscription and Shareholder Agreement (SSA) tergugat, 11 Maret 2005 dengan segala amandemennya. Yang mana hubungan hukumnya adalah antara sesama tergugat,” tutur Haswandy.

Seperti diketahui, Astro dan pemegang saham PT DV (PT Ayunda Prima Mitra) telah menandatangani SSA pada 11 Maret 2005. Yang mana, dalam klausul 17 SSA, diatur bahwa lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan adalah Singapore International Arbitration Center (SIAC). SSA ini rencananya akan berujung pada terbentuknya joint venture atau usaha patungan antara Astro dan Ayunda. Namun, karena sampai akhir syarat-syarat tidak terpenuhi, joint venture tidak terealisir. Lalu, karena terjadi perselisihan, forum arbitrase Singapura juga tengah memeriksa perkara Astro dengan Ayunda.

Kompetensi absolut

Meski putusan majelis telah menolak eksepsi kompetensi absolute tergugat V dan VII, Widha tetap akan mengajukan kompetensi absolute dalam pemeriksaan pokok perkara nanti. Karena menurutnya, PN Jaksel harus menghormati proses yang sedang berjalan di SIAC. “Perkara ini, pemeriksaannya sudah selesai, tinggal menunggu putusan di arbitrase (SIAC). Mengenai tidak adanya joint venture dan bahwa Astro nggak punya kewajiban melanjutkan service itu juga udah ada putusannya kemarin di Partial Award tanggal 3 Oktober”.

Dengan ini, lanjut Widha, “sekarang kita udah nggak bisa menghindar dengan fakta bahwa putusan arbitrase internasional untuk itu sudah ada. Sekarang pengadilan Indonesia mau gimana? Mau ignore? Mau putusin sendiri?”

“Harus diingat, kita (Indonesia) sudah committed sama dunia internasional kalau kita sudah meratifikasi New York Convention (konvensi tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing). Kita harus konsekuen dong, kalau sudah ratified, kita harus menghormati yang namanya putusan arbitrase asing,” tegasnya.

Tapi, karena majelis sudah berkehendak demikian, Widha akan berdiskusi lebih lanjut dengan kliennya untuk menentukan sikap dan bukti-bukti apa yang akan mereka ajukan berikutnya. “Yang pasti kita akan tetap fight dengan masalah kewenangan mengadili”.

Masalahnya, yang dikhawatirkan Widha adalah terjadinya ketidakpastian hukum, apabila putusan Pengadilan Negeri di Indonesia bertentangan dengan putusan arbitrase di Singapura. Salah satu contoh ketidakpastian hukum yang telah terjadi, PN Surabaya, 4 Agustus lalu telah mengeluarkan putusan sela untuk menghentikan gugatan class action para pelanggan Astro di Surabaya. Dengan alasan, gugatan class action harus diajukan sekaligus secara nasional, tidak boleh sendiri-sendiri seperti itu. Namun, putusan tersebut bertolakbelakang dengan putusan majelis hakim PN Jaksel. Majelis beranggapan gugatan class action telah memenuhi syarat formil, sehingga layak untuk dilanjutkan.

Hal-hal seperti ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, kata advokat dari kantor hukum Lubis, Santosa dan Maulana ini, “Kami datang ke pengadilan untuk mencari kepastian hukum. Jangan sampai datang ke sini malah mendapat ketidakpastian hukum”.

Rabu, 09 Desember 2009

Seri Kuliah Hukum PERDATA INTERNATIONAL

SMESTER V FH UIKHA

KULIAH Hukum Perdata International (HPI) (4)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

Rujukan:
Hkm Perdata International Buku I s/d IX Prof. Dr. Sudargo Goutama,Mr;
Pokok-pokok Hkm Perdata International Prof. Dr. CFG Sunaryati Hartono, SH;
Dasar Dasar Hkm Perdata International Dr. Bayu Seto Hardjowahono, SH., LLM


HUKUM PERDATA INTERNATIONAL (I):
Dosen : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH.

I.ISTILAH & PENYEBUTAN

ISTILAH:

Hukum Perdata International (HPI) di Indonesia oleh Prof. GOUW GIOK SIONG (Gautama) dipergunakan istilah : Hukum Antar Tata Hukum (HATAH), yaitu dimana beberapa system hukum bertemu dengan posisi / kedudukan yang sama (azas equality).

Cabang-cabang dari HATAH :
A. HATAH Intern (pluralisme system hkum), terdiri dari:
- Hukum Antar Waktu (HAW)
dalam praktek ditemukan dalam Aturan Peralihan;
- Hukum Antar Tempat (HAT)
timbul karena adanya kekuasaan hukum adat;
- Hukum Antar Golongan (HAG)
Warisan Belanda, yaitu penggolongan beberapa system Hukum
terhadap penduduk di Indonesia, al: Gol Eropah, Timur Asing dan
Bumiputera (Psl 131 IS jo 163), penggolongannya sudah dihapus,
tetapi hukumnya belum dihapus.

B. HATAH Ekstern, yaitu Hukum Perdata International
- adanya unsure asing.

Keadaan dimana dua / lebih system hukum bertemu, sehingga harus melakukan / memilih hukum mana yang berlaku, untuk itu perlu ada prinsip persamarataan (equal), dimana system hukum yang bertemu itu mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada system hukum yang lebih rendah atau lebih tinggi dari sistim hukum lainnya.

Masalah HPI timbul karena terdapat pluralisme HPI, dimana setiap Negara memiliki pengertian HPI masing-masing.
- Apakah HPI hukum Internasional atau hukum nasional? Silang pendapat mengenai ini dimulai dari judul materinya (dispute starts from the title of the page).

- HPI adalah hukum nasional, bukan International. Sumbernya hukumnya nasional. Hanya saja dalam HPI ada unsure asingnya (foreign element). Perkataan International pada HPI jangan dipandang bahwa HPI bersumber dari hukum International. Sifat Internationalnya adalah karena HPI mengatur masalah keperdataan yang mengandung unsur asing.

Istilah lain dari bertemunya beberapa sistim hukum ini adalah Hukum Perselisihan (Conflictenrecht- Van Hasselt), Hukum Konflik (Conflict of law- Diccey-Morris), Hukum Pertikaian (Collisierecht).
Istilah-istilah ini kurang / tidak tepat, karena yang terjadi bukanlah betrokan / tabrakan , namun suatu pertautan stelsel-stelsel hukum dalam suatu masalah keperdataan yang ada unsure asingnya.

Istilah yang tepat adalah : Choice of law, bukan Conflict of law, karena HPI bertugas untuk menghindari bentrokan, dan bertugas untuk mengambil salah satu stelsel hukum yang diberlakukan dalam suatu permasalahan.

HPI juga bukan konflik kedaulatan, karena hukum asing digunakan disebabkan hukum nasional menginginkannya seperti itu, HPI bersumber dari hukum nasional.

Jadi HPI merupakan Hukum Perdata (nasional) untuk hubungan-hubungan International.
- sumber hukumnya hukum nasional;
- hubungannya, fakta-faktanya, materinya bersifat International.
- Azas nasionalistis : sumber dari HPI adalah hukum nasional.
- Azas internationalistis : dari berbagai HPI ada satu HPI yang posisinya berada diatas dari system hukum yang ada (Supranasional).
- HPI merupakan hubungan antara orang (person) dengan orang dimana terdapat unsure-unsur asing.


Contoh-contoh sumber hukum nasional:
1. Pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan:
2. UUPMA No. 1 Tahun 1967;
3. Pasal 16, 17, 18 AB (Algemeine Bevalingen)

Pasal 16 AB mengatur :
status & kewenangan hukum /status persona;
Dalam pasal ini diatur prinsip nasionalitas, dimanapun Warga Negara Indonesia (WNI) berada, hukum nasional Indonesia mengikutinya. Dalam hal ini Indonesia mengikuti Eropa Kontinental. (Anglo Saxon: yang berlaku prinsip domisili, dimana hukum yang berlaku pada seorang WN didasarkan pada tempat tinggalnya atau berlaku hukum dimana seseorang bertempat tinggal)

Pasal 17 AB mengatur :
benda bergerak & tidak bergerak;
Dalam pasal ini diatur benda tidak bergerak tunduk pada hukum dimana benda itu terletak (Azas Lex Rei Sitae). Sejak zaman Von Savigny ada perubahan makna bahwa benda tak bergerak sama dengan benda bergerak.

Pasal 18 AB mengatur :
bentuk perbuatan hukum
Dalam pasal ini diatur bahwa suatu perbuatan hukum tunduk pada hukum dimana perbuatan itu dilakukan (Locus Regim Actum). Jika perkawinan, hanya syarat formalnya saja yang tunduk pada hukum dimana perbuatan itu dilakukan (Lex Loci Celebrationis)

II. PENGERTIAN HPI

DEFENISI HPI:

Van Brakel (Grond Slagen en Beginselen Van Nederlands International Privat Recht) : “Hukum Perdata Interntional adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan International”

Graveson : Conflict of Law (HPI) adalah : “cabang dari hukum Inggris” yang berhadapan dengan masalah-masalah yang fakta relevannya mempunyai hubungan geografis dengan Negara asing, dan memungkinkan timbulnya pertanyaan tentang penerapan hukum Inggris atau asing yang sesuai untuk pemecahan masalah, atau seperti pada pelanggaran yuridiksi oleh pengadilan Inggris atau pengadilan asing.

Prof. GOUW GIOK SIONG (S GAUTAMA) & Schnitzer:
HPI bukanlah hukum international, tetapi hukum national. Di Indonesia HPI dan Hukum Antar Golongan (HAG) sangat erat hubungannya.

Kesimpulannya
- Hukum Perdata Interntional, bukan sumber hukumnya international, tetapi materinya (yaitu hubungan-hubungan /peristiwa-peristiwa yang merupakan objeknya) yang interntional.
- HPI adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat yang didalam hubungan itu mengandung unsur asing;


2. OBJEK HPI

Ruang lingkup kaedah-kaedah HPI di setiap Negara berbeda, hal ini menunjukkan juga bahwa HPI adalah hukum nasional.

Di Inggris: HPI= (Confict of Laws) disamping mengatur hubungan antara orang Skot (sistim hukum Scotlandia lebih condong pd hukum Belanda) dengan orang Inggris, juga mencakup kaedah-kaedah hukum antar agama;

Di Amerika Serikat: HPI mencakup hubungan antara orang-orang dari Negara bagian yang berbeda (seperti Negara Bagian New York dengan Calipornia dsb), orang kulit putih dan orang negro, serta orang (WN) Amerika Serikat dengan orang Asing;

Di Aljazair : kaedah-kaedah HPI berkisar pada perbedaan agama (Hanya orang Kristen dan Yahudi yg sabagai orang asing memperoleh perlindungan hukum). Agamalah yang menjadi criteria seseorang dianggap asing atau tidak;

Di Indonesia: HPI berkisar pada hubungan perdata dengan unsur asing dalam hubungan–hubungan International, Hukum Antar Golongan (HAG) hanya berlangsung dalam suasana hukum international, karenanya maka:
- HPI merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) extern, sedangkan
- HAG merupakan Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) intern. meskipun kedua-duanya merupakan hukum nasional.

Karena berdasarkan Pasal 131 I.S (Indische Staatregeling) penduduk Indonesia dibedakan kedalam golongan-golongan penduduk: Eropah, Timur Asing, dan Bumiputera, maka pada waktu lalu dalam prakteknya orang-orang yang berasal dari Eropah. Amerika, Jepang, Asia dan Afrika (sekarang unsure Asing) tunduk kepada hukum Barat yang berlaku di Indonesia. Hal ini menunjukan peristiwa yang sesungguhnya HPI diubah menjadi HAG.

HPI tidak semata-mata hukum perdata

Corak HPI dibeberapa Negara menunjukkan bahwa sejarah dan struktur ketatanegaraan suatu masyarakat hukum sangat menentukan corak dan luas lingkup kaedah-kaedah HPI, sehingga HPI tidak semata-mata mengenai hukum perdata.

Scholten & Hamaker:

Antara hukum tata negara (constitutional law) dan hukum perdata dapat kita bedakan, tetapi antara hukum public dengan hukum perdata hanyalah hubungan antara hukum khusus (perdata) dengan hukum yang berlaku umum (public). Perbedaannya dalam hukum perdata orang dapat melepaskan (tidak menggunakan) haknya, sedang dalam hukum public hal itu tidak mungkin.

Kranenburg: (bukunya: Grondslagen der Rechtswetenschap) tidak keberatan jika pembagian hukum perdata dan hukum public ditiadakan.

Schnitzer:
Perbedaan antara hkm perdata dan hkm public makin kabur, karena kaedah-kaedah yang mengatur hukum public makin lama makin berkembang disamping hukum perdata, sebagai contoh: hukum perjanjian International, hukum devisa, hkm perdagangan International, hukum penanaman modal, hukum pengangkutan international dsb. Hal ini terjadi seiring dengan lahirnya gagasan tentang “Negara kesejahteraan” (welfare state) dimana pemerintah berkewajiban untuk mengatur kepentingan orang banyak.

Di Indonesia: hukum adatpun tidak mengenal pembedaan perdata dan public.

Hukum Inggris: tidak membuat perbedaan antara kaedah-kaedah hukum public dan hukum perdata, ini nampak dalam corak dan luas lingkup HPI nya. Conplict of Law tidak hanya ditemui dalam hukum perdata saja tetapi juga dalam HTN, hukum pidana dan hukum lainnya (Graveson). Hukum kewarganegaraan pun dimasukkan dalam HPI (Dicey).


UNSUR ASING

HPI lahir sebagai akibat adanya unsure asing dalam suatu peristiwa. Maka karena ada unsure asing itu timbul pertanyaan: kaedah hukum mana yang harus berlaku, kaedah lex fori (hukum setempat) atau kaedah hukum asing yang bersangkutan?

Sebelum lahirnya HPI, di Eropah selalu Lex fori yang dianggap berlaku sekalipun ada unsure asingnya, karena setiap orang yang berdiam disuatu Negara /kerajaan dianggap tunduk pada hukum setempat. Ketentuan ini didasarkan pada azas territorial. Penyelesaian masalah berdasarkan lex fori ini lama kelamaan menimbulkan putusan-putusan yang bertentangan dengan rasa keadilan.

Dengan berkembangnya hukum Romawi di Eropah, terjadilah pembagian antara soal-soal hukum materiil dan soal hukum acara. Bagi hukum acara berlaku lex fori (pengadilan setempat), sedang bagi masalah hukum materiil berlaku lex loci actus (yaitu hukum dari tempat perjanjian atau perbuatan itu diadakan), karena dianggap pada waktu dibuatnya perjanjian semua pihak tunduk pada hukum setempat. Sebagai contoh perkawinan dianggap tunduk pada hukum perkawinan dimana perkawinan itu dilaksanakan.

Kesimpulannya:
HPI mengatur setiap peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik peristiwa termasuk hukum public (TUN, pajak, pidana) maupun termsuk hukum perdata (perkawinan, waris dan hukum dagang).

HPI akan mencari jawaban 3 masalah pokok yang menyangkut peristiwa hukum yang mengandung unsure asingnya, yaitu:
- Hakim mana yang berwenang ?
- Hukum mana yang berlaku ?
- Kapan dan sampai sejauh mana Hakim nasional wajib memperhatikan putusan hakim asing ?


3. Sejarah lahirnya Hukum Perdata International (HPI)

Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam pergaulan masyarakat. Jika didalam suatu perkara perdata tersimpul ada unsur asingnya (pihak atau substansi),maka disebut sebagai Hukum Perdata International (HPI);

HPI di Eropah Barat:

Di Eropah Barat, selalu ada pertentangan antara dua kutub, yaitu kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.

A. YSSEN (dalam bukunya “Individu en Gemeenschap)
“ manusia sepanjang masa selalu berhadapan dengan dilemma antara individualisme dan kolektivisme, sehingga karenanya bentuk dan sifat tau pola kebudayaan setiap masyarakat manusia selalu berkisar pada dua ktub itu”

Di Indonesia (dahulu), antara masyarakat dan individu tidak dapat dipisahkan atau dwi tunggal, tetapi di Eropah dan Amerika 2 kutub tersebut dipandang sebagai hal yang berlawanan (antagonistis), sehingga selalu terjadi dilemma. Pertentangan ini tercermin juga di lapangan hukum yang selalu mempertentangkan antara hukum public dan hukum perdata. Khususnya HPI di Eropah Barat pertentangan selalu berkisar diantara prinsip personil dan prinsip territorial, atau pada zaman modern ini antara prinsip domisili dan prinsip kewarganegaraan (Mancini dari Italia).

I. Perkembangan masyarakat dari masy. geneologis (suku-suku, hubungan darah) ke masy,geneologis-territorial (rumpun) dan dari masy territorial kepada masy territorial-geneologis (ikatan Negara nasional) sangat berpengaruh pada perkembangan hukum khususnya terhadap HPI;
- masy geneologis, dibangun berdasarkan hubungan darah sebagai anggotanya, orang asing tidak punya hak apa-apa. Type ini berubah karena perang atau penyatuan ikatan dgn masy lain;
- masy territorial, orang asing masuk (adopsi) kedalam masyarakat hukum tertentu, sehingga baginya berlaku hukum masyarakat yang mengangkatnya (prinsip territorial);
- orang asing membawa bahasa dan kebiasaan Negara asalnya kedalam masyarakat hukum lain dalam keadaan damai (prinsip personil) ;
- Pertukaran barang dengan orang asing inilah yang melahirkan kaedah-kaedah hukum HPI;
- Cara pertukaran barang ini juga dikenal dalam Hukum Adat Indonesia, karenanya dapat dikatakan hkm adat juga mengandung kaedah-kaedah HPI;

II. - Commercium adalah hak berdagang ditempat yang bukan tempat asalnya yang diberikan Pemerintah Romawi kepada pedagang Yunani, Syiria dan Timur Tengah;
- Praetor peregrines : hakim pengadilan khusus yang menyelesaikan perselisihan antara orang Romawi dengan pedagang asing;
- Ius Gentium : hukum yang digunakan untuk mengadili peristiwa yang mengandung unsure asing berdasarkan azas-azas keadilan, disamping ius civile Romawi;
- Pada abad ke 3 M setelah Romawi menaklukkan seluruh wilayah Eropah Continental, ius civile hanya berlaku bagi Cives (warga) Roma, dan ius gentium berlaku bagi seluruh kerajaan Roma.

III. Sesudah keruntuhan Kerajaan Romawi Kuno, maka hukum kesukuan (stamenrecht) berlaku kembali dan berlaku prinsip personil. Tetapi karena banyaknya suku dan sukar untuk membuktikan seseorang berasal dari suku tertentu, maka berkembang penundukan pada sistim hukum tertentu, maka mulailah “pilihan hukum” memegang peranan dalam HPI;

IV. Antara abad ke-6 dan ke-11, berlaku hukum Franka, yang dinamakan capitularia, yaitu hukum-hukum yang dinyatakan Raja-Raja Franka. Hukum ini berlaku diseluruh wilayahnya dan bagisetiap orang, berlaku secara territorial;

V. Abad ke-10 hukum personil (lex originis) kehilangan artinya di Perancis dan Jerman, berlakunya hukum masing-masing Negara mempunyai arti yang menentukan. Mulailah berkembang asas domisili;

VI. Abad ke-13 di Italia tumbuh kota-kota yang masing-masing mempunyai undang-undang (Statuta) tersendiri (missal: Geno Pisa, Milan, Bologna, Venezia, Plorence, Parma dll).

Dalam konteks HPI, pada abad ke-12 Aldricus mempersoalkan apakah pengadilan akan memberlakukan hukum / statute nya sendiri atau hukum orang asing, menurut pendapatnya hakim harus menggunakan hukum yang menurut pendapatnya lebih baik dan lebih berguna.

Tumbuhnya Teori-teori Statuta:

Abad ke-12 berdasarkan Corpus Iuris dari Justianus (Huku Romawi), azas HPI, yaitu hukum yang dibuat penguasa kota (principe) hanya berlaku bagi kaula kota yang bersangkutan (Statuta).
Pada masa ini Statuta dibedakan antara lain:
- Statuta realita, yang berlaku dalam lingkungan batas wilayah kekuasaan, mengikat pada tempat, benda atau orang seperti: kaedah-kaedah hak atas tanah;
- Statuta personalia, yang berlaku mengikuti seseorang, kemana saja orang pergi, seperti: wewenang hubungan pribadi (perjanjian),

Abad ke-13 (1314-1357) Bartolus de Saxoferrata:
- Statuta yang mengijinkan sesuatu, dan
- Statuta yang melarang sesuatu;
- Statuta Mixta, yaitu statute berlaku bagi semua perjanjian yang dibuat ditempat berlakunya statute dgn segala akibat hukumnya, sedang wanprestasi dan segala akibat hukumnya diatur menurut statuta ditempat seharusnya perjanjian dilaksanakan.

Teori Statuta di Perancis:
Teori Statuta Bortolus diabad-abad berikutnya diikuti oleh ahli-ahli hukum Perancis,
Charles Dumoulin (1500-1566):
- setiap pihak dapat menentukan pilihan hukum yang berlaku dalam setiap perkara;
- Hukum yang berlaku adalah ditempat perbuatan hukum dilakukan;
Bertrand D’Argente’ (1519-1590)
- barang warisan tunduk bukan hanya pada satu system hukum saja, tetapi setiap barang tak bergerak itu tunduk pada hukum tempat letaknya barang (lex rei sitae)

Teori Statuta di Belanda

Ahli hukum Belanda Ulrik Huber (1636-1694):
1). Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah
hukumnya dan terhadap subjects nya sendiri;
2). Kaula (subject) negara adalah mereka yang berada dalam
lingkungan kekuasaan negara tersebut, baik yang menetap, maupun
yang hanya sementara tinggal;
3). Berdasarkan azas Comitas (sopan santun), hukum suatu Negara
dapat dianggap seakan-akan berlaku dimana-mana, asalkan tidak
melanggar kekuasaan atau hak-hak negara lain;

Johanes Voet 1666-1698), melahirkan theori Comitas, yaitu:
- Pada hakekatnya tidak ada Negara yg wajib menyatakan berlakunya kaedah hukum asing dalam batas-batas wilayah hukumnya, jika kaedah hukum asing itu diberlakukan, maka itu disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun pergaulan antar bangsa (Comitas gentium)
- Comitas harus ditentukan secara objectif, berdasarkan azas locus regit actum (perbuatan hukum tunduk pada hukum setempat);

Teori Comitas gentium ini ditentang oleh Wolf, Van Brekel dan Cheshire, yang menyatakan: “Hukum International tidak mengenal azas Comitas, karena berlakunya hukum asing hanyalah disebabkan karena keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya (the desire to do justice)”.

Teori Statuta Jerman

Ahli-ahli hukum Jerman antara lain Johan Nikolaus Hert (1651-1710)
menyempurnakan HPI yang menolak teori-teori statute dan mengemu
kakan teori tersendiri;

Teori Statuta di Inggris

Sampai akhir abad-17 HPI di Inggris tidak berkembang karena hukum setempat yang selalu berlaku. Ketika tampuk kerajaan Inggris dan kerajaan Scotlandia berada disatu tangan (Raja James I) mulailah dipikirkan berlakunya hukum asing yang juga diakibatkan oleh perdagangan international yang pesat:
- tidak lagi berpegang pada azas lex fori;
- berlaku azas Comitas dan pilihan hukum


Teori-teori Modern (abad 19)

Pada abad-19 ini HPI mengalami kemajuan yang pesat, berkat tiga
orang sarjana, yaitu:
1. Joseph Story (Hakim Amerika, bukunya: Commentaries on the Conflict of Law – 1834);
Story mereview putusan-putusan hakim Inggris dan Amerika dengan cara induktif, sehingga ia berkesimpulan: adanya kaedah-kaedah HPI tertentu didalamnya.

2. Carl Frederick Von Savigny (Prof Jerman;bukunya: Sistem hukum Romawi- 1849):
- suatu hubungan hukum yang sama harus memberi penyelesaian yang sama, baik diputuskan oleh hakim di Negara A, maupun oleh Hakim di Negara B. maka karenanya penyelesaian yg menyangkut unsur asing hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya akan sama dimana-mana;
- Adanya pergaulan hidup masyarakat international menimbulkan satu system hukum yang merupakan system hukum supra-nasional, yaitu HPI;
- Pengakuan terhadap hukum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas (sopan santun), akan tetapi berdasar pada kebaikan/kegunaan (manfaat) fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak (Negara dan manusia) yang bersangkutan;

3. Pascuale Stanislao Mancini (bukunya : Kewarganegaraan sebagai Dasar Hukum Antar Bangsa-1851) – mazhab Italy:
- Semua nation (bangsa) mempunyai kedudukan yang sama dalam masyarakat antar bangsa, dan timbulnya Hukum Internasional adalah karena hidup bersama antar bangsa, yaitu kedudukan yang sama rendah dan sama tinggi;
- Mancini membuat perbedaan antara Negara dan nation, bahkan menurutnya nasion itu mungkin ada sebelum adanyya Negara (state);
- Nasionalitas diartikan condong pada faham “tanah air” dari pada faham “kewarganegaraan” yang berakar pada hukum publik, ataupun faham “domicile” yang berakar pada hukum perdata. Karenanya “nasionalitas” Mancini mempunyai arti politis (extra juridis).

Menurut Mazhab Italy ini, ada dua macam kaedah dalam setiap sistim hukum, yaitu :
a) kaedah-kaedah hukum yg menyangkut perseorangan;
b) kaedah-kaedah hukum untuk melindungi dan menjaga keteriban umum (public order)

Berdasarkan pembagian ini, ada tiga azas HPI :

1. Kaedah-kaedah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga Negara, dimanapun dan pada waktu apun juga (prinsip personil);

2. Kaedah-kaedah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (azas territorial);

3. Azas kebebasan, yang menyatakan bahwa para pihak yang bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan hukum).



Konsepsi-konsepsi tentang Ruang Lingkup HPI, ada 4 konsepsi:

1. Konsepsi tersempit, HPI = Choice of Law (pilihan hukum)
Penganutnya : Jerman, Belanda.

2. Konsepsi Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction (Pilihan hukum dan pilihan Yuridiksi) Penganutnya : Negara-negara Anglo Saxon.

3. Konsepsi Lebih Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers). Penganutnya : Negara-negara Latin, spt: Itali, Spanyol, Amerika latin.

4. Konsepsi Paling Luas, HPI = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers) + kewarganegaraan (nasionalitet). Penganutnya : Prancis.

Sejarah ASAS-ASAS HPI – HATAH EXTERN

- Prinsip Personalitas: Hukum berlaku digantungkan pada perorangan, ikatan personil, berdasarkan hubungan darah; (kemudian berkembang);
- Prinsip Territorialitas : ikatan didasarkan pada territorialitas (karena daerahnya makin luas);
- Ius Gentium: hukum yang mengatur hubungan antara warga civitas dengan peregrine;
- Civitas : suatu wilayah yang sudah direbut oleh kerajaan romawi dan memppunyai aturan sendiri;
- Peregrini : orang-orang /pedagang asing yang masuk kedalam civitas.
- Setelah kerajaan Romawi runtuh, kekuasaan dipegang oleh kaum bar-bar, prinsip territorialitas kembali lagi kedalam prinsip personalitas;
- Abad 11 – 12, kembali ke prinsip territorialitas, kota-kota dagang mempunyai ketentuan-ketentuan / hukum tersendiri yang dinamakan “Statuta”;
- Abad 13-14, BARTOLUS DE SAXOFERRATA mengembangkan “TEORI STATUTA” yang menjadi cikal bakal HPI, yaitu:

- STATUTA PERSONALIA, mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personil, mengikuti seseorang dimanapun dia pergi, mencakup aturan-aturan / hukum perorangan termasuk hukum kekeluargaan dan benda bergerak. (benda bergerak mengikuti status penguasa benda tersebut – mobilia sequntur personom);

- STATUTA REALITA; berlaku secara territorial. Hanya benda yang terletak dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk pada peraturan yang berlaku tersebut, (berlaku juga untuk benda tidak bergerak);

- STATUTA MIXTA; berlaku bagi yang tidak masuk statute realita dan statute personalia, yaitu bentuk perbuatan hukum (azas Locus Regit Actum) ditempat dimana perbuatan hukum itu dilakukan.

VON SAVIGNI :
- benda bergerak dan benda tidak bergerak disatukan tunduk pada azas Lex Recipe,;
- untuk hukum pribadi yang menjadi ukuran adalah tempat tinggal, (mulai berlaku Prinsip Domisili);
- untuk hukum bidang kontrak/perjanjian berlaku Lex Loci Executionis hukum dimana konttrak dilaksanakan / diselesaikan;


Kuliah : Hukum Perdata International (3)
(Dosen : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)


KUALIFIKASI atau PENGGOLONGAN

Penggolongan suatu peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi kedalam system kaedah-kaedah Hukum perdata Internasional dan hukum materiil nasional disebut : kwalifikasi (Bartin, Van Brakel), atau “Classification” (Wolf, Graveson) atau characterization (Ehrensweig).

Kualifikasi dapat dilakukan baik pada lapangan hukum public, hukum pidana maupun hukum perdata. (sebagai contoh: seseorang yang memasuki rumah orang lain secara paksa dengan merusak pintu, maka kualifikasinya/ penggolonngan peristiwa ini kedalam hukum Pidana, dan kejahatannya (tindak pidananya) adalah: memasuki rumah orang tanpa izin melanggar Pasal 167 (1) KUHP dan merusak pintu: melanggar Pasal 167 ayat (2) KUHP)
- Contoh lain mengenai: seorang anak asing (bukan WNI) yang tidak diakui sah, akan menuntut hak-haknya dari ayahnya yang berkewarganegaraan sama, maka penggolongan fakta-fakta ini kedalam hukum Perdata, mengenai status seorang anak yang diatur dalam Pasal 16 AB (prinsip nasionalitas).

Kualifikasi ada dua macam, yaitu:
1) QUALIFICATION OF LAW, yaitu penggolongan atau pembagian semua kaedah-kaedah hukum yang ada, menurut kriteria yang ditentukan lebih dahulu. Misalnya pembagian kedalam: hukum perjanjian, Hukum Penanaman Modal, Hukum Waris, Hukum Perseorangan dan sebagainya.

2) QUALIFICATION OF FACTS, penggolongan / penyalinan hukum dari fakta-fakta sehari-hari kedalam istilah hukum, fakta-fakta tersebut dimasukkan kedalam kotak-kotak hukum / bagian-bagian hukum yang telah tersedia (kaedah hukum yang bersangkutan).

Dalam melakukan kualifikasi terhadap suatu peristiwa / fakta-fakta tertentu, dapat terjadi beberapa kemungkinan:
a. Jika kaedah hukum yang harus berlaku bagi peristiwa (berdasar kaedah penunjuk dan titik taut) itu adalah lex fori (hukum setempat), maka kualifikasi seakan-akan terdiri dari satu macam perbuatan saja yaitu karena penggolongan kaedah-kaedah hukum yang harus berlaku itu dilakukan hanya menurut lex fori;
b. Jika kaedah penunjuk dan titik tautnya dalam kumpulan fakta-fakta itu menunjuk pada kaedah hukum asing, maka kualifikasi / penggolongan dari hukum asing itu harus dilakukan menurut hukum asing tersebut (lex causae – the proper law);
c. Dalam hal tertentu, UU dengan nyata dan tegas menyatakan kualifikasi harus dilakukan menurut hukum tertentu, misalnya dalam Pasal 17 AB yang berbunyi: “Mengenai benda-benda tak bergerak (immovebles) berlaku ketentuan / UU dari Negara / wilayah hukum setempat ditempat benda tersebut terletak”. Sehingga kualifikasi ini bukan menurut lex fori, tetapi system hukum yang lain;
d. Para pihak berhak menentukan kualifikasi dilakukan berdasarkan system hukum tertentu (pilihan hukum);

TEORI-TEORI KUALIFIKASI

1. KUALIFIKASI menurut LEX FORI
- Kualifikasi ini merupakan teori yang paling tua, dan paling banyak diakui, yaitu kualifikasi / penggolongan dilakukan menurut hukum sang hakim (BARTIN).
- Kualifikasi lex fori ini harus dilakukan, karena kaedah HPI merupakan juga kaedah-kaedah hukum intern / nasional, lex fori dikenal baik oleh hakim dan pembuat UU sehingga memudahkan penyelesaiannya.
- Kelemahan teori ini seringkali menimbulkan ketidak adilan, karena kualifikasi kaedah-kaedah hukum itu bukan saja tidak sesuai dengan hukum asing, juga bahkan tidak dikenal oleh system hukum asing tersebut.

2. KUALIFIKASI menurut LEX CAUSAE
- Teori ini dikembangkan oleh MARTIN WOLFF dan CHESHIRE, yang berpendapat bahwa kualifikasi hendaknya dilakukan sesuai dengan sistim dan ukuran-ukuran keseluruhan sistim hukum yang besangkutan (lex causae).
- Menurut Wolff, tujuan utama kualifikasi ini untuk menetapkan kaedah HPI yang mana dari lex fori yang berhubungan dengan atau menyangkut kaedah hukum materiil asing.
- kelemahan teori ini, jika kualifikasi berhadapan dengan suatu sistim hukum yang tidak mempunyai kualifikasi yang lengkap, seperti dalam Hukum Adat dan Hukum Inggris. Apalagi jika sistim hukum asing itu tidak mengenal lembaga hukum yang dikenal dalam hukum nasional setempat atau sebaliknya. Menghadapi yang demikian, maka kualifikasi harus diselesaikan dengan mendasarkan pada analogi terhadap peristiwa/fakta-fakta yang sama dasarnya, jika tidak mungkin maka digunakan lex fori.

3. KUALIFIKASI secara ANALITIS atau OTONOM
- Teori ini dikemukakan oleh RABEL, oleh BECKET disebut “Teori Hukum Analitis” (analytical jurisprudence);
- Menurut teori ini: setiap kaedah hukum harus dibandingkan dengan kaedah-kaedah hukum yang serupa dari sistim hukum yang dikenal, dimaksudkan agar tercipta satu macam kualifikasi bagi HPI yang universal, yaitu tercipta pengertian-pengertian HPI yang diterima umum terlepas dari stelsel-stelsel hukum yang ada.
- Dalam praktek tidak mungkin dilakukan mengingat:1) sulit menyelidiki semua sistim hukum yg berlaku, 2) setiap sistim hukum selalu berkembang, sehingga selalu sukar untuk mengejar perubahan-perubahan disemua sistim hukum, 3) seandainya dapat diciptakan suatu sistim kualifikasi universal, hanyalah gambaran rata-rata dari sistim hukum, bukan gambaran sistim yang riil yang berlaku di setiap negara. (Contoh: lembaga “trust” di Inggris tidak dikenal dalam sistim hukum lain, demikian jua “domicile” dalam hukum Inggris, berbeda sifatnya dengan “domicilie” dalam hukum Belanda, berlainan pula dengan arti “domisili” dalam hukum Indonesia.

4. KUALIFIKASI secara BERTAHAP
- Teori ini dikemukakan oleh SCHNITZER, yang membedakan dua tingkat kualifikasi, yaitu:
- Kualifikasi tahap pertama kualifikasi menurut lex fori untuk menemukan hukum mana yang dipergunakan; dan
- kualifikasi tahap kedua kualifikasi menurut lex causae yaitu kualifikasi lebih jauh dari hukum asing mana yang harus dipergunakan.
- Ada yang menganggap kualifikasi sama dengan interpretasi (EHRENZWEIG) ,meskipun ada hubungan erat antara keduanya, namun tetap harus dibedakan antara keduanya, karena “Menafsirkan” berarti memberi arti dan isi kepada suatu kaedah penunjuk (terlepas ada kasus/peristiwa atau tidak), sebaliknya “kualifikasi” berarti menerapkan suatu kaedah hukum untuk suatu peristiwa tertentu (LEMAIRE);
- Teori ini mengatasi kesulitan secara realistis, karena untuk menemukan lex causae, tidak mungkin dapat mempergunakan kualifikasi lain selain kualifikasi menurut lex fori.
- Pengecualian dari kualifikasi ini, adalah:
a. Kewarganegaraan, yang berlaku lex causae (hkum WN melekat);
b. Benda bergerak/tidak bergerak, lex rei sitae (dimana benda
terletak)
c. Kontrak/perjanjian, pilihan hukum (choice of law)
d. PMH / tort, lex loci delictie commissie (tempat terjadinya PMH)

5. KUALIFIKASI HPI
- Teori ini dikemukakan KEGEL, yang menyatakan kualifikasi kaedah hukum asing tergantung pada tujuan yang akan dicapai HPI, yaitu latar belakang kepentingan HPI (keadilan, ketertiban, kepastian, kelancaran pergaulan international) yang akan dilindungi. Jadi harus ditentukan lebih dahulu kepentingan HPI manakah yang dilindungi oleh suatu kaedah hukum HPI tertentu.
- Kepentingan HPI, antara lain:
a. kepentingan para pihak (hukumnya sendiri atau hukum yang
dipilihnya);
b. kepentingan pergaulan dan lalu lintas international (kepastian hukum dan kecepatan dalam lalu lintas orang dan barang menentukan menurut hukum mana kualifikasi dilakukan);
c. ketertiban dan kepastian hukum (yg merupakan tujuan unifikasi
hukum extern, dan kecenderungannya memerlukan lex fori);
d. perasaan keadilan dalam masyarakat (pergaulan) international

TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN SUATU PERKARA HPI :

1. Menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara
HPI;
Penentuan ini didasarkan/dengan bantuan “titik-titik taut primer”. Jika pengadilan Indonesia yang berhak memeriksa, maka HPI dan Hukum Acara Indonesia yang akan diberlakukan.

2. Menentukan jenis atau soal apakah peristiwa HPI itu, perkara adopsi, atau perkawinan atau PMH atau pidana. Pada tahap ini dilakukan kualifikasi dari fakta-fakta, disini baru diketahui lex forinya, karenanya pengkualifikasian ini hanya dapat dilakukan menurut lex fori.

3. Dengan berdasarkan lex fori, dicari hukum mana yang berlaku, untuk itu harus dicari “titik-titik taut sekunder” guna menemukan hukum yang harus berlaku: lex causae.
- Kadang-kadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka selanjutnya diteruskan menurut lex fori;
- Lex causae ditentukan letak benda tak bergerak, maka sistim hukum yang berlaku lex situs;
- Ditentukan oleh tempat terjadinya perjanjian (lex loci contractus), tempat dilangsungkannya perjanjian (lex loci solutionis) atau tempat terjadinya perkawinan (lex loci celebrationis).
- Bisa juga lex causae ini ditentukan oleh tempat tinggal terakhitr atau tempat asal seseorang (lex domicilii)

4. Setelah lex causae, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI dilakukan menurut lex causae, kecuali jika lex causae memberi hasil yang:
a. bertentangan dengan “kepentingan umum lex fori, maka lex fori yang berlaku, atau
b. lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan.

5. Penunjukan kembali (Renvoi)
Dalam mencari lex cause, jika yg dimaksud “hukum asing” seluruh kaedah hukum asing termasuk kaedah HPI, maka ada kemungkinan HPI asing itu menunjuk kembali kepada lex fori, atau kepada hukum asing yang kedua / lainnya, inilah yang disebut persoalan renvoi (penunjukan kembali dan penunjukan lebih lanjut).

Contoh-contoh:
A. Kulaifikasi menurut lex fori, biasa dilakukan pengadilan Inggris.
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
- Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya (berdomicile di Inggris)
di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di Perancis suami masih dianggap belum dewasa dan tidak mendapat izin orang tuanya.
- Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu perkawinan diatur oleh lex loci celebrationis dan syarat-syarat materiil oleh lexdomicilie;
- Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure formil (formality) yang diatur oleh hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis), sedangkan menurut hukum Perancis: izin orang tua dianggap sebagai unsure materiil yang harus diatur menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris), maka perkawinan dianggap syah, tetapi jika dikualifikasi menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus dilakukan kualifikasi menurut lex fori, sehingga perkawinan seperti itu dianggap sah.



II. Perkara Apt Vs Apt (1947)
- Ny. Apt (WN Jerman, bertempat tinggal dan mempunyai domisili di Inggris) telah menikah dengan perantaraan (by proxy) dengan Tn. Apt (WN Jerman tinggal dan mempunyai domisili di Argentina);
- Pengadilan Inggris harus menentukan apakah “cara perkawinan” ini merupakan syarat formil ataukah syarat materiil. Jika cara ini merupakan syarat formil, maka perkawinan yang dilangsungkan di Argentina harus berlangsung menurut hukum Argentina adalah sah. Namun jika cara itu dianggap sebagai syarat materiil, maka perkawinan itu dianggap tidak sah.
- Pengadilan Inggris mengnggap cara perkawinan ini sebagai syarat formil, maka perkawinan ini dianggap sah.

Jika telah ditetapkan perkawinan itu sah, maka hakim akan mencari “titik-titik taut” yang menentukan hukum yang harus berlaku.
Dalam hukum Inggris “titik-titik taut” ini ditentukan pula oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di Argentina), maka Hkm Pdt Inggris akan memeriksa apakah menurut hukum Argentina, syarat-syarat formilnya dipenuhi atau tidak;
b). Jika mengenai warisan, maka akan ditentukan dimana domicile Pewaris pada waktu meninggal, dan dimana lex situs (letak) barang-barang tak bergerak yang ditinggalkan pewaris;
c). Jika mengenai perjanjian, maka akan ditentukan dimana lex loci contractus (tempat terjadinya) atau lex loci solutionis (tempat dilaksanakannya);

B. Kualifikasi menurut lex causae:
I. Perkara Anton Vs Bartolo (1891)
- Ny. Anton dan suaminya pada permulaan perkawinan berdomisili di Malta, kemudian pindah ke Aljazair (jajahan Perancis) dan membeli sebidang tanah;
- Sesudah suaminya meninggal, Ny. Anton menggugat ¼ bagian hasil tanah tersebut sebagai harta warisan;
- Jika hukum Malta yang berlaku, maka gugatan akan dikabulkan, tetapi jika hukum Perancis yang berlaku akan ditolak. Yang jadi persolan adalah apakah perkara ini perkara “warisan” ataukah masalah “harta perkawinan”;
- Baik hukum Perancis maupun Malta berlaku kaedah-kaedah HPI, dimana mengenai warisan benda tak bergerak tunduk pada lex situs (letak benda), dan mengenai harta perkawinan berlaku lex domicilii.
- persoalannya apakah perkara ini akan dikualifikasi sebagai perkara warisan atau perkara perkawinan. Gugatan hak waris tidak dikenal hukum Perancis, jika dianggap soal waris, maka yang berlaku hukum Perancis. Sedangkan jika dianggap sebagai masalah perkawinan berlaku hukum Malta
- Pengadilan Aljazair menggolongkannya menurut hukum Malta, yang menggolongkan hak janda ¼ bagian hasil tanah sebagai kaedah harta perkawinan, sehingga gugatan Ny. Anton dikabulkan.

C. Kualifikasi di dalam dua tingkat:
- Menurut HPI Swiss, warisan diatur menurut hukum tempat tinggal terakhir Pewaris, tanpa dibedakan barang bergerak atau tidak bergerak;
- Jika kualifikasi tingkat pertama, dapat ditentukan hukum Inggris yang berlaku (tempat tinggal terakhir Pewaris), maka harus ditentukan benda-benda apa yang merupakan benda bergerak (movables) dan benda tidak bergerak (immovables) menurut hukum Inggris (kualifikasi tingkat kedua);
- Hkum Inggris, jika tak ada wasiat, benda movables berlaku hukum dari lex dimicili Pewaris, terhadap benda immovables berlaku lex rei situs; (letak benda immovables);
- Jika lex domicile Pewaris adalah hukum Swiss, maka akan berlaku hukum Swiss terhadap benda movables (Renvoi). Dan jika lex situs dari benda immovables adalah Jerman, maka hukum Jermanlah yang harus berlaku (penunjukan lebih lanjut).


TITIK-TITIK TAUT / PERTALIAN
Yang dimaksud dengan Titik-titik Taut (Prof. Sunaryati Hartono) atau Titik-Titik Pertalian (Prof. Gautama) yaitu adanya unsure-unsur yang menandakan adanya unsure asing, sehingga ada kemungkinan suatu kaedah hukum asing diberlakukan dalam suatu peristiwa hukum.

Titik-titik Pertalian (TP) dalam HPI, yaitu:
I. Titik Pertalian Primer;
II. Titik Pertalian Skunder;
III. Titik Pertalian Kumulatif;
IV. Titik Pertalian Alternatif;
V. Titik Pertalian Tambahan;
VI. Titik Pertalian Accesoir;
VII. Titik Pertalian Pengganti.

I. Titik-titik Pertalian Primer
Yaitu merupakan titik pertalian yang memberikan petunjuk bahwa suatu peristiwa merupakan HPI atau bukan, atau alat yang membedakan apakah suatu persoalan masuk kedalam lingkup HPI atau bukan, sehingga TP Primer ini disebut juga sebagai Titik Pembeda.

Yang merupakan TP Primer adalah:
1. Kewarganegaraan;
- Seorang WNI menikah dengan WN Jepang. Kewarganegaraan Jepang menunjukkan ini merupakan peristiwa HPI;

2. Domisili, tempat tinggal seseorang yang sah menurut hukum (tetap);
- Dua orang WN Inggris yang berlainan domicilinya satu berdomicili di negra X, yang satu lainnya di Negara Y, mereka menikah disalah satu domicili diantara mereka. HPI Inggris menanggap seorang WN Inggris tunduk pada hukum perkawinan negri domisilinya yang baru. Domicili disini menunjukan peristiwa HPI;

3. Bendera kapal, menandakan kapal itu tunduk pada hukum apa;
- Sebuah kapal berbendera Panama, para penumpangnya WNI. Kapal berlayar di perairan Indonesia. Jika timbul persoalan dengan kapal, ini merupakan peristiwa HPI, karena bendera bagi sebuah kapal merupakan kewarganegaraan.

4. Tempat kediaman (Residence), sifatnya sementara (Habitual residence , tempat kediaman seseorang yang nyata sehari-hari)
- Dua orang WN Malaysia bertempat kediaman di Jakarta tanpa melepaskan domisilinya di Kualalumpur. Jika mereka akan menikah apakah di KUA, Catatan Sipil atau di Embassy (Kedutaan)nya, ini merupakan peristiwa HPI karena tempat kediamannya;

5. Tempat kedudukan badan Hukum;
- Tempat kedudukan badan hukum sebuah perseroan terbatas dan sebagainya, menunjukan peristiwa HPI;

6. Pilihan Hukum dalam hubungan intern
- Dua orang Indonesia yang mempunyai domisili kantor berbeda masing-masing di Indonesia dan di London, mengadakan perjanjian import-export barang dari Inggris. Dalam perjanjian ditentukan hukum yang berlaku disepakati hukum Inggris, maka oleh karena adanya pilihan hukum (hukum Inggris),peristiwa ini merupakan HPI;

II. Titik-titik Pertalian Sekunder
yaitu merupakan titik pertalian yang menjawab hukum mana yang dipakai dalam menghadapi persoalan HPI, atau alat yang menentukan hukum yang berlaku dalam persoalan HPI disebut juga sebagai Titik taut Penentu.

Yang merupakan Titik Pertalian Sekunder (TPS), yalah:
1). TPS Dalam BIDANG KONTRAK:
a. Pilihan Hukum, yaitu hukum yang dipilih para pihak yang berlaku;
- Jika dalam suatu perjanjian dagang/kontrak para pihak menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak tersebut, maka pilihan hukum yang dipilih itulah yang berlaku dalam kontrak tersebut.
Sebagai contoh: PT. Hotel Indonesia mengadakan kontrak dengan management Hotel Corporation mengenai exploitasi dan mamagemen bersama HI di Jakarta, dengan ketentuan bahwa hukum Indonesia yang berlaku dalam kontrak tersebut.
Jika secara tegas pilihan hukum itu dipilih, maka pilihan hukum tersebut akan menentukan berlakunya hukum Indonesia, kecuali bertentangan dengan ketertiban umum.

b. Tidak ada pilihan hukum:
b.1. Lex Loci Contractus, berlakunya / keberlakuan hokum
berdasarkan tempat penandatanganan kontrak;
- Mail box theory (Anglo Saxon)
keberlakuan hukum didasarkan didasarkan pada tempat dimana
dikirimkannya jawaban atas penerimaan penawaran.
Contoh:
Pengusaha Inggris dan pengusaha Singapura mengadakan perja
njian (kontrak) dalam hal jual beli kertas. Setelah pengusaha
Inggris memberikan penawaran (melalui korespondensi: surat,
Fax, email dll), maka Singapor menerima dan memberikan jawa-
ban yang dikirimkan ke Inggris. (Inggris X Singapura)
Maka hukum Singapura yang berlaku.

- Acceptance theory (Eropa Kontinental)
keberlakuan hukum didasarkan pada tempat dimana jawaban
atas penerimaan penawaran diterima.
Contoh:
Pengusaha Tasik (Indonesia) dan pengusaha Perancis melaku-
kan kontrak/perjanjian jual beli kain batik, pengusaha Tasik
memberikan penawaran yang kemudian diterima oleh pengusaha
Perancis, dan pengusaha Perancis tersebut mengirimkan jawa-
ban penerimaannya ke Tasik (Tasik X Perancis).
Maka hukum Indonesia lah (Tasik) yang berlaku.

b.2. Lex loci solutionis, berlakunya / keberlakuan hukum berdasar
kan tempat dimana suatu kontrak dilaksanakan / diselesaikan.

Contoh:
Pengusaha Jepang dan Perancis mengadakan kontrak mengenai pe-
mbangunan sebuah Cottage di Bali, apabila ada permasalahan anta-
ra kedua belah pihak (Jepang X Perancis), maka hukum yang meng-
atur bagi permasalahan tersebut adalah hukum Indonesia yang me
rupakan tempat dimana kontrak tersebut dilaksanakan / diselesai
kan.

b.3. Proper law of the contract
hukum yang digunakan / berlaku adalah hukum yang paling
banyak memiliki titik taut / pertalian di dalam kontrak yang
diadakan.
Contoh:
Perjanjian import-export antara pengusaha Indonesia dan Jepa
ng, bertempat di Jakarta. Perjanjian dibuat dalam bhs Inggris.
Impor barang Jepang ke Indonesia dilaksanakan di Indonesia,
Export barang-barang Indonesia harus dilaksanakan di Tokyo.
Jika pengusaha Jepang wanprestasi atas mutu barang, maka pe
ngusaha Indonesia dapat menggugat Pengusaha Jepang di Penga
dilan di Indonesia, karena ditemukan titik taut/pertalian:
- kewarganegaraan Tergugat = Jepang.
- lex loci solutionis = Indonesia.
- lex rei sitae = Indonesia, karena brg te
lah tiba di Indonesia.
- lex loci contractus = Indonesia (Jakarta)
- bentuk/bahasa perjanjian = Inggris.
- lex fori = Indonesia.

b.4. The most characteristic connection
hukum yang digunakan adalah hukum pihak yang menanggung re-
siko paling besar.
- umumnya dipakai dalam konvensi jual beli international.
Contoh:
Penjual X Pembeli, hukumnya penjual;
Bank X Nasabah, hukumnya Bank;
Pengacara X Klien, hukumnya pengacara.


2. TPS DILUAR BIDANG KONTRAK
a. Kewarganegaraan
Dalam perkawinan dua orang yang berlainan kewarganegaraan, ma-
ka jika terjadi perselisihan / perceraian, maka hukum yang berla-
ku adalah hukum nasional sang suami, karena menurut Pasal 2 Pera
turan Perkawinan Campuran (S.1898-158) jo Pasal 58 UU No. 1/74
tentang Perkawinan, seorang istri mengikuti status hukum suami-
nya, kewarganegaraan suaminya menentukan kewarganegaraan iste
rinya.

b. Domisili
Keberlakuan hukum didasarkan atas domisili para pihak
- Dua orang WN Inggris yang berlainan domicilinya satu berdomicili di negra X, yang satu lainnya di Negara Y, mereka menikah disalah satu domicili diantara mereka. HPI Inggris menanggap seorang WN Inggris tunduk pada hukum perkawinan negri domisilinya yang baru. Domicili disini menentukankan hukum mana yang berlaku bagi para pihak;

c. Bendera kapal
Bendera merupakan kewarganegaraan sebuah kapal, jika terjadi perselisihan diatas sebuah kapal yang berbendera Negara tertentu, maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana kapal itu berbendera.

d. Tempat kediaman
- Dua orang WN Malaysia bertempat kediaman di Jakarta tanpa melepaskan domisilinya di Kualalumpur. Jika mereka akan menikah di Jakarta (KUA atau Catatan Sipil), maka yang berlaku hukum Indonesia;

e. Tempat diadakan perbuatan-perbuatan resmi yang penting (forum) termasuk tempat kedudukan badan hukum:
- Tempat Pendaftaran tanah, tempat izin diperolehnya untuk mendirikan badan hukum, tempat diajukannya suatu perkara (juridiksi), merupakan titik taut penentu, karena hukum acara ditentukan oleh lex fori yang bersangkutan.

f. Letak suatu benda (lex rei sitae)
Terhadap benda-benda baik tak bergerak (immovable) maupun benda bergerak (movable) dibidang HPI berlaku hukum dimana letaknya benda-benda tersebut (lex rei sitae)
Contoh:
Seorang WNI hendak meletakkan hak tanggungan (hypotheek) atas tanah dan rumah di Malaysia, maka hukum yang digunakan adalah hukum Malaysia yaitu hukum dimana tanah dan bangunan itu berada.

g. Perbuatan Melawan Hukum (lex loci delicti commisi)
Hukum yang digunakan adalah hukum tempat dimana perbuatan melawan hukum (PMH) itu dilakukan.
Ada 2 teori :
- The last event theory (Anglo Saxon)
hukum yang digunakan berdasarkan locus delicti, ditempat dimana akibat dari suatu perbuatan melawan hukum itu dirasakan.

- The last event theory (Eropah Kontinental)
locus delicti, ditempat terjadinya perbuatan melawan hukum yang sebenarnya.

h. Bentuk perbuatan hukum (locus regit actum)
Hukum tunduk pada tempat dimana suatu perbuatan hukum akan dilakukan.
Contoh: Perkawinan International.
- Seorang WNI akan menikah dengan seorang WN Perancis di Jerman, maka syarat materiilnya (Status personal tunduk pada hukum masing-masing kewarganegaraannya – Pasal 16 AB), karena perkawinannya akan dilaksanakan di Jerman, maka syarat formilnya / bentuk perbuatan hukumnya tunduk pada hukum Jerman (lex loci celebrationis – Pasal 18 AB).

III. Titik Pertalian Kumulatif:
Yaitu beberapa titik pertalian yang digunakan sekaligus;

IV. Titik Pertalian Alternatif:
Yaitu memilih salah satu titik pertalian dari beberapa titik pertalian
yang ada;

V. Titik Pertalian Tambahan
Yaitu titik-titik pertalian yang seharusnya dipergunakan tidak dipakai, karena dianggap tidak mencukupi, sehingga digunakan tambahan titik pertalian lainnya;

VI. Titik Pertalian Accesoir
Yaitu titik pertalian yang mengikuti titik pertalian yang pokok.

VII. Titik Pertalian Pengganti
Yaitu jika dalam peristiwa HPI terjadi hanya ada satu titik pertalian, namun tidak memadai, maka dapat diganti dengan titik pertalian lainnya. Bila tidak ada penggantinya, maka harus digunakan titik pertalian yang satu tersebut.


HUBUNGAN ANTAR TITIK-TITIK PERTALIAN;

- Jika Titik Pertalian Primer (TPP) tidak ditemukan dalam suatu peristiwa hukum, maka dengan sendirinya Titik Pertalian Sekunder (TPS) juga tidak ada;
(Contoh: jual beli yang dilakukan oleh dua orang WNI, di Jakarta, memakai hukum Indonesia, atas barang-barang yang terletak di Indonesia);
- Meskipun Titik Pertalian Sekunder (TPS) tidak ditemukan dalam suatu peristiwa hukum, namun dapat saja ditemukan Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa yang menunjukan peristiwa HPI;
(Contoh: dua pihak WNI melakukan perkawinan diatas kapal berbendera Panama yang sedang berlayar diatas perairan di Indonesia )
- Jika ada Titik Pertalian Pengganti (TP Pengganti) hanya satu, tidak sama dengan Titik Pertalian Alternatif (TP Alterbatif).
- TP Alternatif dapat merupakan TP Pengganti, namun TP Pengganti tidak bias menjadin TP Alternatif.

- Dalam suatu peristiwa hukum Kewarganegaraan dapat menjadi Titik Pertalian Primer (TPP) sekaligus juga menjadi Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum mana yang berlaku dalam peristiwa tersebut.
(Contoh: dua orang WNI yang melaksanakan perkawinannya di Perancis)

- Demikian juga “Domisili” dapat menjadi Titik Pertalian Primer (TPP) dalam suatu peristiwa hukum, sekaligus juga merupakan Titik Pertalian Sekunder (TPS) yang menentukan hukum asing apa yang berlaku dalam peris tiwa hukum tertentu.
(Contoh: seorang WNI melakukan perkawinan dengan seorang Warga Negara Inggris, yang dilaksanakan di Indonesia dan keduanya berdomisili di Indonesia).

MENENTUKAN HUKUM YANG BERLAKU (LEX CAUSAE) DENGAN BANTUAN TITIK PERTALIAN

Dalam Hukum Antar Golongan di Indonesia, Titik taut / ppertalian hanya ditentukan oleh Hukum Adat atau Hukum Barat yang berlaku di Indonesia, namun dalam HPI titik taut / pertalian itu ditentukan oleh lebih dari satu sistim hukum, karena HPI menyangkut seluruh sistim hukum di dunia.

Maka oleh karenanya jika menghadapi suatu kasus HPI, cara kerjanya dilakukan sebagai berikut:
1. Pertama-tama harus dicari TTP (Titik Taut Primer) menurut Lex fori, apakah kasus yang dihadapi merupakan peristiwa HPI atau bukan;
2. Jika sudah diketahui bahwa suatu kasus itu HPI, maka harus dilakukan “qualification of facts” menurut lex fori;
3. Kemudian kita mencari titik taut sekunder (TTS) menurut lex fori, untuk menentukan sistim hukum yang berlaku (lex causae);
4. Titik-titik taut menurut lex causae kemudian akan menentukan apakah kaedah hukum lex causae, lex fori atau kaedah sistim hukum asing yang lain (ingat kemungkinan renvoi) yang harus berlaku;
5. Jika berdasarkan titik-titik taut dari lex causae telah ditentukan kaedah hukum materiil yang harus berlaku, barulah dapat kita menentukan penyelesaian masalah atau menjatuhkan putusan in concreto.

Tetapi dalam kenyataan kemungkinan titik taut lex fori menunjuk pada dua lex causae atau lebih.

Contoh:
- Perjanjian import-ekport antara WNI dengan WN Jepang. Impor barang-barang Jepang ke Indonesia harus dlaksanakan di Indonesia, sedang export barang Indonesia harus dilaksanakan di Tokyo. Pembayaran dilakukan secara kompensasi.
- Jika exporter Jepang menyerahkan barang yang harus diexport ke Indonesia kualitasnya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, maka akan terjadi kemacetan karena pihak Indonesia tidak mau mengirimkan barang-barangnya ke Jepang akibat pihak Jepang “wanprestasi”

BEBERAPA PENYELESAIAN

A. Jika pihak Indonesia melakukan gugatan ke Pengadilan negeri Jakarta Pusat, maka kita akan menemukan titik-titik perytalian sbb:
- kewarganegaraan tergugat = Jepang;
- lex loci solutionis = Indonesia;
- lex rei sitae = Indonesia, karena barang
telah datang di Indonesia.
- lex loci contractus = Indonesia / Jakarta;
- bentuk perjanjian/bahasa = Inggris;
- lex fori = Indonesia.

Karena lex fori Indonesia, maka yang berlaku kaedah-kardah HPI Indonesia, yang berlaku Pasal 18 AB (Algemeine Bevalingen): suatu perbuatan hukum itu tunduk pada dimana perbuatan hukum itu dilakukan (locus regim actum), maka yang dianggap lex cusae adalah hukum Indonesia, baik sebagai lex loci contractus maupun lex loci solutionis. Dan menurut pasal 131 IS untuk orang Jepang berlaku BW (KUHPerdata)
, maka HPI ini dapat dianggap sebagai HAG.

B. Jika perjanjian import-export tadi antara WN Inggris dengan WNI, dan pihak Indonesia melakukan gugatan di pengadilan negeri Inggris, maka Hakim Inggris akan mempertimbangkan dahulu hukum manakah yang dipilih para pihak, atau hukum mana yang dapat diseimpulkan telah dipilih oleh kedua belah pihak.
- Dalam kasus ini meskipun lex loci contractus (ditandatangani) daan lex loci solusionis (dilaksanakan) adalah Indonesia, namun karena bentuk perjanjiannya adalah suatu bentuk yang hanya dikenal dalam hukum Inggris, maka hukum Inggrislah yang dianggap sebagai lex causae.

C. Jika perjanjian import-export, antara WN Swiss dengan WNI, dan pihak Indonesia akan mengajukan gugatan ke pengadilan Swiss, maka Hakim Swiss akan mempertimbangkan bahwa dalam perdagangan sperti ini, hukum yang berlaku ditentukan oleh “die typische Leistung” atau “die charakteristiche Leistung” (prestasi yang husus atau yang karakteristik) , yang dalam hal ini “penyerahan barang-barang import di Indonesia”, sehingga hukum Indonesialah yang di anggap sebagai lex causae.

Kuliah Hukum Perdata International (5)
(Dosen : Abdul Ficar Hadjar, SH., MH)

PRINSIP KEWARGANEGARAAN & PRINSIP DOMISILI

Stelsel-stelsel / aliran HPI di negara-negara dunia saling berbeda dalam menentukan status personil seseorang baik sebagai warga negaranya maupun warga Negara asing. Sebagian Negara menganut prinsip kewarganegaraan, dimana status personil WN/WNA ditentukan oleh hukum nasionalnya masing-masing. Sebaliknya sebagian lagi menganut prinsip domisili yang menentukan status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di tempat domisilinya / teritorialnya.

Pinsip Nasionalitas / kewarganegaraan banyak dianut oleh Negara-negara Eropa Kontinental, diantaranya: Perancis, Italia, Belgia, Luxemboug, Belanda, Indonesia, Rumania, Bulgaria, Finlandia, Junani, Honggaria, Polandia, Portugal, Spanyol, Swedia, Turki, Tiongkok, dan Negara-negara Amerika Latin antara lain: Costa Rica, Republik Dominika, Ecuador, Haiti, Honduras. Mexico, Panama, dan Venezuela.

Prinsip Domisili banyak dianut oleh Negara-negara Anglo Saxon, diantaranya: Semua Negara-negara bekas jajahan Inggris yang menganut sistim common law (Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Australia dsb), Scotlandia, Africa Selatan, Quebec, Denmark, Norwegia, Iceland, dan Negara-negara Amerika Latin: Argentina, Brazilia, Guatemala, Nicaragua, Paraguay, dan Peru.

- Prinsip Nasionalitas yang bertitik berat pada segi personalia, menentukan bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan status seseorang (WN/WNA) erat hubungannya dengan orang-orang tersebut, oleh karenanya hukum nasional orang tersebut yang ditentukan oleh kewarganegaraannya melekat dan mengikuti kemanapun seseorang pergi.
(Latar belakang prinsip ini, menghendaki warga negaranya yang mengembara ke luar negeri sedapat mungkin tetap tunduk kepada hukum mereka sendiri).

- Prinsip Domisili bertitik berat pada segi territorial, menentukan bahwa semua hubungan-hubungan orang yang berkaitan dengan soal-soal perorangan, kekeluargaan, warisan atau “status personil”nya ditentukan oleh domisilinya. Oleh karenanya prinsip ini menentukan bahwa setiap orang yang berada di dalam wilayah suatu Negara dianggap tunduk pada hukum Negara tersebut.
(Latar belakang prinsip ini, terutama negara-negara muda seperti Amerika Serikat yang banyak imigrannya bertujuan agar para imigran tunduk pada hukum perdata dari Negara yang baru dibangun itu).

- Namun ada sistim yang disebut “Juristichem Chauvinismus” (Chauvinis caya yuridis) dimana ada negara-negara yang memperlakukan WN nya yang berada di luar negeri ditundukkan pada prinsip nasionalitas, namun disisi lain orang asing (WNA) yang berada di negara yang bersangkutan ditundukkan kepada prinsip domisili. Beberapa Negara Amerika latin menganut sistim ini, al: Chili, Equador, Columbia, Peru, El Salvador, Venezuela dan Mexiko.

- INDONESIA berdasarkan Pasal 16 AB (Algemeine Bevalingen) menganut Prinsip Nasionalitas: “ Bahwa terhadap warga negara Indonesia (d/h Hindia Belanda) yang berada di luar negeri berlaku hukum nasionalnya sebagai status personal mereka.”
Hal ini diinterpretasikan secara analogi terhadap WNA yang berada di Indonesia.

Alasan-alasan yang pro terhadap prinsip Nasionalitas/Kewarganegaraan:

1. Prinsip ini paling cocok dengan perasaan hukum seseorang.
Hukum nasional yang dibuat oleh warga Negara suatu Negara tertentu adalah lebih cocok bagi WNnya, pembuat hukum nasional/UU lebih memahami kepribadian dan kebutuhan WNnya sendiri.

2. Lebih permanent dari hukum domisili
Prinsip kewarganegaraan itu lebih tetap dari prinsip domisili, karena kewarganegaraan tidak mudah untuk dirubah-rubah seperti halnya domisili.

3. Prinsip kewarganegaraan lebih banyak membawa kepastian hukum
Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian karena pengertian keWNan lebih mudah diketahui dari pada domisili seseorang, hal ini disebabkan adanya peraturan-peraturan tentang keWNan yang lebih pasti dari Negara ybs.

Alasan-alasan yang pro terhadap prinsip Domisili:

1. Hukum domisili adalah hukum dimana seseorang sesungguhnya hidup.
Dimana seseorang sehari-hari hidup, tidak saja beradaptasi / mencocokkan diri terhadap kebiasan-kebiasaan, bahasa, pandangan social, tetapi juga terhadap ketentuan-ketentuan hukum di Negara bersangkutan yang mengenai status personilnya.

2. Prinsip Nasionalitas seringkali membutuhkan Prinsip Domisili
Dalam praktek Prinsip Nasionalitas/kewarganegaraan seringkali tidak
Dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili.

3. Prinsip Domisili sama dengan hukum sang Hakim.
Diajukannya perkara ke hadapan hakim dari tempat tinggalnya para pihak /tergugat yang menentukan kompetensi juridiksi hakim. Dalam kepentingan para pihak hakim seyogyanya memakai hukumnya sendiri, karena seorang hakim lebih mengenal hukum nasionalnya itu dari pada hukum asing.

4. Cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum.
Prinsip nasionalitas tidak dapat dipakai dalam suatu Negara yang struktur hukumnya tidak mengenai persatuan hukum. Untuk mengetahui hukum perdata mana yang berlaku bagi seorang WN yang hukumnya plural ( setiap daerah berlainan hukum/ ada penggolongan WN) maka perlu diperhatikan domisilinya.

5. Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi para imigran.
Prinsip Domisili mencegah adanya kelompok-kelompok orang/imigran yang mempertahankan hubungan mereka dan ikatan-ikatan dengan Negara mereka, sehingga prinsip ini dapat mempercepat adaptasi dan assimilasi orang-orang asing.

Pendapat Prof. GOUW GIOK SIONG (Gautama):
Republik Indonesia sebaiknya dipergunakan prinsip domisili, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Alasan praktis dengan pemakaian prinsip domisili dapat memperkecil berlakunya hukum asing. Pemakaian prinsip nasionalitas mempunyai pembawaan bahwa hukum asing akan lebih banyak digunakan.
2. Hukum Acara Perkara di pengadilan lazimnya digunakan KUHPerdata / BW untuk semua orang (WNI/WNA). Pemakaian prinsip domisili akan mengsanksionir praktek hukum ini. Jika masih dipakai nasionalitas, maka praktek ini bertentangan dengan azas hukum yang berlaku.
3. Dalam praktek hukum selalu menggunakan prinsip domisili, karena prinsip domisili dianggap dapat menentukan hukum yang berlaku, tanpa menghiraukan status WN atau asing.
4. Indonesia belum mempunyai cukup bahan-bahan tentang hukum asing.
5. Di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum. Aneka warna hukum perdata tidak saja didasarkan pada perbedaan golongan rakyat, perbedaan sesama pribumi dari lingkungan hkm adapt.
6. Indonesia berada di lingkungan Negara yang memberlakukan prinsip domisili (Australia, India, Pakistan, Singapur, Malaysia)
7. Indonesia merupakan Negara imigrasi (banyak orang asing yang tinggal dan lalu lalang).
8. Sebagai Negara imigrasi Republik Indonesia hendaknya melakukan assimilasi. (dengan menganut azas ius sanguinis – anak mengikuti keWNan ayahnya-, banyak orang yang menjadi asing di negerinya sendiri)

- Bagi WNI berlaku prinsip nasionalitas berdasarkan Pasal 16 AB.
- Bagi WNA : - kurang dari 2 tahun di Indonesia berlaku prinsip
nasionalitas / kewarganegaraan;
- lebih dari 2 tahun di Indonesia berlaku prinsip
domisili.

- Dengan kata lain Prinsip Nasionalitas hanya dipakai untuk jangka waktu tertentu, selanjutnya digunakan prinsip Domisili.



Di Inggris Prinsip Domisilinya unik, karena ia mengenal 3 Prinsip Domisili:
1. Domicile of origin, yaitu domisili yang diperoleh sejak seseorang dilahirkan, mengikuti domisili bapaknya;

2. Domicile of choice, yaitu domisili yang diperoleh / dipilih seseorang setelah dia dewasa, dengan syarat :
- seseorang menetap di Negara lain;
- tidak ada keinginan untuk pindah ke Negara lain;
- keinginan memilih domisili;
- kemampuan;
- recidence yang permanent;

3. Domicile by operation law, yaitu domisil yang tergantung (dependant) dari seseorang, yaitu: anak yang belum dewasa, wanita dalam perkawinan, seseorang yang berada dalam perwalian.
- anak ikut domisili si ayah;
- istri ikut domisili suami;
- yang diampu ikut domisili si wali.

“Doctrine of Revival” adalah hidupnya domicile of origin seseorang yang telah tertidur lama karena tercerabutnya domicile of choice orang tersebut dan ia tidak punya domisili lainnya.

Yurisprodensi-yurisprodensi Kewarganegaraan:
De Ferrari Case (Perancis)
- Th 1893 Ny. Ferrari (WN Perancis) memperoleh keWNan Itali karena perkawinannya dengan suaminya Tn. Ferrari (Itali);
(di Itali tidak dikenal perceraian, yang ada persetujuan hidup terpisah / BW: pisah meja dan tempat tidur)
- Th 1899 mereka membuat kesepakatan hidup terpisah (consentement mutual), Ny. Ferrari pulang ke Negara asalnya Perancis;
- Th 1913 Ny. Ferrari melakukan “naturalisasi” menjadi WN Perancis kembali, suaminya tetap di Itali;
- Ny. Ferrari mengajukan gugatan “supaya kesepakatan pisah” dirubah menjadi perceraian ke Pengadilan tingkat pertama LYON, pada pengadilan tingkat ini dikabulkan dan dikuatkan oleh pengadilan tingkat kedua HOF LYON;
- Th 1922, COUR DE CASSATION (peradilan kasasi) membatalkan keputusan Hof Lyon, yang menyatakan: lembaga hidup terpisah meja dan tempat tidur cara Otalia belum cukup memenuhi syarat untuk diubah menjadi perceraian cara Perancis;
- Kemudian Ny. Ferrari mengajukan lagi gugatan baru dengan sepenuhnya memakai hukum perdata Perancis, hukum Italia dikesampingkan;
- Tahun 1928 COUR DE CASSATION memutuskan hukum Perancis harus digunakan untuk Ny. Ferrari yang sudah WN Perancis lagi karena naturalisasi, yang kemudian gugatan dikabulkan Ny. Ferrari memperoleh perceraian;
(Keputusan perkara DE FERRARI ini dicap sebagai “juridisch chauvinisme”, karena Hakim Perancis hanya mengutamakan hukum nasionalnya sendiri dan kepentingan WNnya sendiri, dan melalaikan tugasnya dalam HPI)

RIVIERE CASE (Perancis)
- Lydia Roumiantzelff (asal Rusia, WN Perancis) menikah dgn Petrov (asal Rusia, WN Ecuador), kemudian cerai karena persetujuan pihak (consentement mutual).
- Th 1939, Ny. Roumiantzelff menikah lagi di Maroko dengan RIVIERE (Perancis). Perkawinan ini juga hendak diakhiri, Ny. Roumianzeff mengajukan gugatan di pengadilan Casablanca (Ecuador);
- Dalam pembelaannya RIVIERE menyatakan bahwa tidak perlu suatu perceraian, karena perkawinannya dengan Ny. Roumiantzeff adalah tidak sah (pembelaan ini dikemukakan untuk menghindari tuntutan alimentasi / nafkah, jika perkawinannya batal tidak ada dasar menuntut alimentasi);
- Argumen RIVIERE menyatakan perkawinan tidak sah, karena perceraian Ny. Roumiantzelff dengan Petrov tidak sah berdasarkan persetujuan bersama (Consntement mutual) yang tidak dikenal dalam hukum Perancis, kalau hakim Ecuador memutus berdasarkan hukum Ecuador, maka bertentangan dengan “ketertiban umum” di Perancis;
- Pengadilan tingkat pertama menerima argument RIVIERE, perkawinan antara dirinya dengan Ny. Roumianzeff tahun 1939 di maroko adalah batal (putusan ini didasarkan prinsip Kewarganegaran/personalitas);
- Pengadilan tingkat banding Cour de Rabbat membatalkan putusan tingkat pertama, dan kemudian peradilan tingkat Kasasi Cour de Cassation dalam putusannya tanggal 17 April 1953 menguatkan putusan banding dan memutuskan sebagai perceraian, dengan pertimbangan hukumnya:
+ fakta keWNan Perancis belaka tidaklah cukup untuk memaksakan diberlakukannya hukum Perancis dalam perkara-perkara dimana status seorang perempuan WN Perancis yang dipersoalkan;
+ berkenaan dengan suami istri Petrov dan Ny. Roumianzeff yang mempunyai keWNan berbeda (Ecuador-Perancis) adalah tepat Cour de Appel (pengadilan banding) memutuskan bahwa perceraian mereka diaturoleh hukum Domisili, yang notabene sama dengan hukum personel pihak suami (Ecuador) dan dengan hukum sang Hakim, sehingga pperceraian yang diperoleh adalah wajar;

(putusan ini hukum domisili bersama para pihak yang diberlakukan , meskipun para pihak berlainan kewarganegaraan)

LEWNDOUSKI CASE (Perancis)
- Kasus perceraian antara Lewndouski (Polandia) dan seorang perempuan WN Perancis tanggal 15 Maret 1955 telah diputus oleh Cour de Cassation (pengadilan tingkat kasasi) Perancis dengan menggunakan hukum Perancis sebagai hukum dari domisili bersama anatara suami istri yang berbeda keWNannya;

(Dalam putusan pengadilan Perancis menerapkan dalam mumutus perkara perceraian yang berbeda keWNan dengan memakai hukum domisili bersama para pihak, dhi hukum Perancis)

BISBAL CASE (Perancis)
- Perkara perceraian suami istri WN Spanyol yang berdomisili di Perancis, telah diputuskan oleh Cour de Cassation pada tahun 1959 dengan menggunakan hukum domisili bersama yaitu hukum Perancis, meskipun HPI Perancis sebenarnya berdasarkan prinsip nasionalitas dan jika digunakan hukum nasional Spanyol, maka para pihak tidak mungkin memperoleh perceraian;
(putusan ini menimbulkan kritik tajam, sehingga Perancis disebut sebagai “pabrik cerai” yang besar (une “usine de divorce), karena kemudian banyak WN asing yang bercerai di Perancis)

MASSIMO – DAWN ADDAMS
- Aktris Dawn Adams tahun 1954 menikah dengan Massimo (WN Italia) di Roma, kemudian memperoleh ketetapan hidup berpisah dari pengadilan di Roma tahun 1958;
- Ny. Dawn Addams dating dan tinggal di Perancis (dapat KTP & Izin kerja), kemudian mengajukan gugatan perceraian pada suaminya Massimo di pengadilan Perancis;
- tahun 1959 Pengadilan Perancis (Tribunal de Grande Instance de la Seine) melalui hakimnya memutuskan dirinya tidak berwenang untuk mengadili perkara perceraian ini karena gugatan telah diajukan bukan ditempat tinggal tergugat, yaitu di Italia;

(putusan ini disetujui dan dipuji oleh penulis-penulis Perancis)

BOLL CASE (Perancis)
- Suami JOHANES BOLL (WN Belanda) dengan Istri GERD ELISABETH LINDWALL (Swedia) memperoleh ke WN Belanda karena menikah, mempunyai anak bernama MARIA ELISABETH BOL lahir di Swedia (7 Mei 1945), dan mereka tinggal di Swedia;
- 5 Desember 1953, Ny. Gerd Elisabeth meninggal dunia, tetapi mereka (ayah dan anak) tetap tinggal di Swedia;
- 18 Maret 1954, ayah BOLL mengajukan perwalian atas anak Maria Elisabeth Boll di pengadilan Norkoping Swedia dan dikabulkan;
- Tgl. 2 Juni 1954 Hakim Belanda dari Kantonrechter dari Amsterdam telah mengangkat Jan Alvertus Idema (WN Belanda) sebagai wali pengawas anak Maria Boll;
- Tgl. 16 September 1954 Pengadilan Norkoping Swedia telah menetapkan EMIL LINDWALL (kakek anak Maria dari Ibu) sebagai curator dari anak Maria;
- 26 April 1954 Dewan Perlindungan Anak-anak di Norkoping Swedia menetapkan anak Maria dibawa perlindungan dewan tersebut. Wali pengawas Belanda mengajukan permintaan pengawasan, tetapi ditolak oleh Dewan Perlindungan Anak;
- Pemerintah Swedia menganggap pemerintah Belanda telah ikut campur membela kepentingan warganya, dan Pemerintah Swedia dituding melanggar “perjanjian Den Hag 1902” tentang perwalian anak-anak di bawah umur;
- kemudian perkara ii di bawa ke Mahkamah Agung International, yang memutuskan : membenarkan pendirian Swedia dan mengalahkan Belanda, yang memutuskan: tindakan pendidikan dan perlindungan yang dilakukan oleh instansi Swedia terhadap anak Maria Elishbeth Boll;

(putusan ini menggambarkan adanya tendensi untuk mengedepankan prinsip domisili pada bidang hukum kekeluargaan, yaitu hubungan anak-anak dengan orang tua mereka).


Kuliah Hukum Perdata International (6)
(Dosen: Abdul Ficar Hadjar, SH, MH)


RENVOI ( PENUNJUKAN KEMBALI )

Renvoi terjadi karena adanya aneka macam sistim Hukum Perdata Internasional dalam status personal seseorang ( P. Nasionalitas / P. Domisili).

Renvoi timbul, apabila hukum asing yang ditunjuk oleh lex fori, menunjuk kembali kearah lex fori itu, atau kepada sistim hukum asing lain.

- Setelah mengkualifikasikan fakta-fakta yang ada dalam suatu perkara / kasus, maka kita kemudian mencari titik-titik taut yang memberi petunjuk kepada kita hukum (asing) mana yang akan berlaku.

Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah disebut:
a) Gesamtverweisung, jika menunjuk pada seluruh hukum asing termasuk didalamnya kaedah HPI dan kaedah hukum materillnya (hkm intern);
b) Schahnormverweisung, jika hanya menunjuk pada hukum materiil (Hkm Intern) dari sistim hukum asing yang bersangkutan.

SCHEMA RENVOI:
(1)
1. Penunjukan kembali -----------------
(X) ------------------------------ (Y)
L______________________l
-------------------------
(2)


2. Penunjukan lebih jauh
(1) (2)
(X)---------------------- (Y) ------------------------ (Z)


Contoh Renvoi Penunjukan kembali (1):
- Apabila seorang WN Inggris yang berdomisili di Indonesia, untuk menentukan sudah dewasa atau belum, atau akan menikah atau akan melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan personilnya, maka menurut HPI Indonesia (berdasarkan Pasal 16 AB – hkm nasional mengikuti personilnya) yang harus digunakan adalah hukum Inggris;
- menurut Hukum Inggris, berdasarkan kaedah-kaedah HPI nya, untuk status personil yang dipakai adalah hukum dimana domisilinya dhi di Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum Indonesia.
( Hukum Indonesia menunjuk hukum Inggris, dan hukum Inggris menunjuk kembali hukum Indonesia).

Contoh Renvoi Penunjukan lebih jauh (2):
- Dua WN Swiss (Paman dan saudara sepupu perempuan) berdomisili di Moskow Rusia dan menikah di Rusia. Menurut HPI Rusia, perkawinan harus berdasarkan hukum Rusia, menurut HPI Swiss (Psl 7f NAG) perkawinan yang dilakukan di luar negeri menurut hukum yang berlaku di sana, dianggap sah. Disisi lain hukum intern (nasional)Swiss (Psl 100 ZGB) perkawinan antara Paman dan sepupu perempuan dilarang, ketentuan ini tidak berlaku karena perkawinan dilakukan di Luar Negeri, jadi sebenarnya secara tidak sengaja telah terjadi “penyeludupan hukum”;
- Suami istri ini pindah domisili ke Hamburg, terjadi perselisihan pihak istri mengajukan gugatan cerai, pihak paman (suami) mengajukan permohonan kepada Hakim supaya perkawinan mereka di Rusia dianggap batal adanya karena melanggar Pasal 100 ZBG Hukum Swiss;
- Hakim di Jerman yang mengadili tidak menggunakan pasal 100 ZBG, tetapi hakim menerima apa yang dinamakan “penunjukan lebih lanjut” (Weiter-verweisung). HPI Jerman berdasarkan prinsip Nasionalitas menyatakan hukum nasional WN Swiss yang berlaku bagi WN Swiss tersebut, termasuk penunjukan HPI Swiss (Psal 7f NAG) yang menunjuk lebih jauh pada hukum dimana perkawinan dilakukan ic hukum Rusia, maka Hakim Jerman menganggap perkawinan sah, dan “penunjukan lebih jauh” diterima dalam praktek HPI Jerman.

CAUSE CELEBRE : Kasus FORGO
- Forgo WN Bavaria anak luar kawin, sejak kecil s/d meninggalnya bertempat tinggal di Perancis, meninggalkan harta warisan al: deposito-deposito pada Bank-bank di Perancis. Menurut hukum Perancis pada waktu itu Forgo dianggap belum mempunyai domisili di Perancis, ia masih dianggap mempunyai domisili asalnya (domicile of origin) dimana ia dilahirkan. Forgo tidak meninggalkan surat wasiat, sehingga warisannya akan jatuh kepada ahli waris ab intestate.
- Saudara-saudara kandung Forgo menklaim harta warisan tersebut berdasarkan ketentuan hukum Bavaria, di lain pihak Pemerintah Perancis berdasarkan hukum intern (nasional) Perancis yang tidak mengenal warisan anak luar kawin, sehingga warisan Forgo dianggap harus jatuh kepada Pemerintah Perancis;
- Menurut HPI Perancis warisan benda-benda bergerak berlaku hukum domisili asal (domicile of origin), dhi HPI Perancis menunjuk hukum Bavaria, tetapi HPI Bavaria menentukan bahwa warisan benda-benda bergerak akan berlaku hukum tempat tinggal sebenarnya dari si Pewaris, dalam hal ini Hukum Perancis.
- Persoalan: apakah penunjukan HPI Perancis kepada Hukum Bavaria, apakah seluruh hukumnya (termasuk HPI), atau hanya kepada Hukum Intern Bavaria. Jika seluruhnya, maka ada penunjukan kembali kepada Hukum Perancis dan renvoi akan diterima dengan memberlakukan hukum intern Perancis, jika hanya kepada hukum Intern Bavaria, maka hukum warisan Bavaria yang diberlakukan;
- COUR DE CASSATION dalam putusannya tahun 1878, telah menerima penunjukan kembali hukum Perancis dan menggunakan hukum Intern Perancis. Warisan Forgo hatuh ketangan Pemerintah Perancis.

Renvoi menimbulkan polemic dan perdebatan, sehingga menimbulkan adanya pihak-pihak yang kontra dan pro terhadap institusi renvoi ini.

Alasan-alasan yang KONTRA RENVOI:

1. Renvoi tidak logis;
doktrin renvoi tidak logis, karena jika renvoi diterima, maka akan terjadi suatu penunjukan kembali secara terus menerus, sehingga akan terjadi suatu “inextricable circle” yaitu tidak akan terjadi suatu penyelesaian karena akan terus menerus terjadi penunjukan kembali seperti bola pimpong.

2. Penyerahan kedaulatan Legislatif;
renvoi merupakan asing menggantikan kaedah-kaedah HPI nasional, “souverinitas” dari hukum suatu negara dibahayakan.penyerahan kedaulatan legislatif, seolah-olah HPI

3. Renvoi membawa ketidak pastian hukum.
Jika renvoi diterima akan membawa ketidak pastian hukum karena penyelesaian HPI akan menjadi samara-samar, berjalan kesegala jurusan (ambiguous), tidak kokoh, tidak stabil. Akan terjadi “completely unpredictable” (ketidakpastian) untuk menentukan teori renvoi mana yang diterima suatu negara, dan karenanya baik secara teoritis maupun praktis akan mendapatkan kesulitan.

4. Membawa kesukaran-kesukaran.
Renvoi membawa kesukaran / menyulitkan (inconvenient) bagi sang hakim, karena sang hakim harus mempelajari hukum asing, dan hakim harus mengetahui lebih dahulu HPI dari negara-negara lain yang bersangkutan.

Negara-negara yang kontra renvoi al: Italya, Belanda, Yunani, Egyft, Suriah. Dsb.

Alasan-alasan yang PRO RENVOI

1. Memberi keuntungan praktis
Jika renvoi diterima maka baerarti hukum internal sang hakim sendiri yang akan dipergunakan dan ini berarti suatu keuntungan praktis, dimana seorang hakim akan lebih mudah dan tepat melaksanakan hukum internalnya.

2, Penunjukan secara keseluruhan

3. Jangan “plus royaliste que le roi” (bersifat lebih raja dari raja itu sendiri).
Menunjuk kepada hukum asing sebenarnya suatu konsesi, jika kemudian hukum asing itu tidak menetrimanya / menunjuk kembali, maka harus diterima / jangan ditolak.
(Jika kita menutup pintu terhadap hukum asing, maka akan membawa kita pada “chauvinisme yuridis” yang mematikan kemungkinan perkembangan HPI.

4. Keputusan yang berbeda
Jika menolak renvoi akan mengakibatkan timbulnya keputusan yang berbeda dalam suatu peristiwa HPI dalam Negara yang menunjukkan dan Negara yang menunjuk kembali.
(Misal jika dalam suatu peristiwa HPI Negara X menunjuk kpd hukum Negara Y, dan hukum Negara Y menunjuk kembali pada hukum Negara X, maka jika (Negara X) menolak renvoi, yang akan terjadi dalam suatu peristiwa HPI akan ada keputusan yang berbeda jika diperiksa di Negara X menggunakan hukum intern Negara Y, jika diperiksa di Negara Y akan menggunakan hukum Negara X).

5. Harmoni diantara keputusan-keputusan
Dunia terbagi dalam 2 prinsip yaitu prinsip kewarganegaraan dan prinsip domisili, dengan menerima renvoi akan tercapai harmoni dari keputusan-keputusan perkara HPI yang mengatasi pertentangan diantara kedua sistim ini.

6. Memperbesar kemungkinan executie;

7. Sesuai dengan rasa keadilan para pihak.

Negara-negara yang pro rrenvoi al: Perancis, German, Belgia, Swedia,
England, Swiss, Thailand dsb.

Jenis-jenis Renvoi

1. Single Renvoi (Negara-negara Eropa Continental)

1. Gesamt
X -------------------------------Y
L<______________________l
2. Sachnorm


2. Double Renvoi (Negara-negara Anglo Saxon)
( Foreign Court Doctrine / FCD)
Hakim Inggris seolah-olah duduk di dalam kursi Hakim Negara asing ybs.
1. FCD
X------------------------------- Y
L_____________________l
2. Gesamt
l______________________^
3. Sachnorm

Kasus di Inggris:
Re ANNESLEY (Renvoi diterima)
- Ny. Annesley WN Inggris, domisili dan meninggal (1942) di Perancis, membuat testament / wasiat dlm bentuk hukum Inggris, yang mengakibatkan anak laki-lakinya tidak mendapatkan warisan.
- (HPI Inggris Vs HPI Perancis) HPI Inggris wasiat syah, sedangkan HPI Perancis mengenal adanya “legitima forci” yang memberikan hak pada sang anak sekurangnya sepertiga bagian harta warisan;
- dalam kasus ini :
1. Hakim Inggris menggunakan FCD, bertindak seolah hakim Perancis;
2. HPI Perancis (prinsip nasionalitas) menunjuk hukum Inggris;
3. HPI Inggris (prinsip Domisili) menunjuk Hkm Perancis;
dengan menggunakan hukum intern Perancis wewenang Ny. Annesley dalam membuat surat wasiat dibatasi, maka anak lelakinya mendapatkan warisan berdasarkan “legitima forci”.



Seri Kuliah Hukum Perdata International (7)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

KETERTIBAN UMUM

Ketertiban Umum : lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi Hukum nasional sang Hakim.

Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika), jika timbul perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI Indonesia ic Pasal 16 AB menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka Hakim (Indonesia) tidak akan menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu (perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi sistim hukum Indonesia.

II. Perkawinan di Jerman pada zaman HITLER
Pada zaman Nazi berkuasa di Jerman (Hitler) ada UU tahun 1931 yang melarang perkawinan antara apa yang disebut “bangsa Aria” dengan bukan Aria. Larangan nikah berdasarkan “ras” dianggap oleh banyak Negara tidak dapat diperlakukan, karena melanggar ketertiban umum;

III. Perceraian 2 WN RRC
UU Perkawinan 1950 RRC pasal 17 memungkinkan perceraian berdasarkan persetujuan bersama. HPI Indonesia (psl 16 AB prinsip nasionalitas) berlaku hukum RRC, namun dikesampingkan karena bertentangan dengan ketertiban umum.

Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika diperlukan sekali sebagai “ultimum remedium” karena jika terlalu banyak digunakan akan dicap sebagai bangsa yang munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not as a sword – sebagai perisai/pelindung, bukan sebagai pedang).



Ada 3 Konsep Ketertiban Umum di dunia, yaitu :

I. Konsep Romawi:
Lembaga “Ketertiban Umum” selalu digunakan setiap kali bertentangan dengan hukum sang Hakim, bukan dengan pengecualiannya. (As a sword not as ashield);

II. Konsep Jerman
Lembaga “ketertiban umum” dipergunakan sebagai pengecualian, sebagai rem darurat – as a shield. Yang penting adalah bahwa “Ketertiban Umum” di Jerman sangat berkaitan erat dengan keadaan dalam negeri (Inlandsbezithungen).

Contoh: Bremen Tobako Case
- Pemerintah RI baru merdeka menasionalisasikan perkebunan tembakau di Deli yang dimiliki oleh orang Belanda;
- Tembakau itu lalu diexport ke Jerman, untuk dilelang di pasaran BREMEN;
- Pemilik lama perkebunan tembakau Deli tersebut mengajukan tuntutan/gugatan ke Pengadilan Negeri Bremen Jerman, dengan tntutan: a. Ganti rugi atas nasionalisasi;
b. nasionalisasi tersebut tidak sah, karena melanggar “ke-
tertiban umum” Jerman;
- Putusan :
a. Syarat-syarat Ganti rugi adalah :
- prompt : Sudah dibayar;
- Effective : uangnya ada;
- Adequate : jumlahnya memadai.
b. Nasionalisasi RI tidak bertentangan dengan “Ketertiban
Umum” Jerman, karena tidak memenuhi syarat Inlandsbezit
hungen (kepentingan masyarakat dalam negeri Jerman).

III. Konsep Anglo Saxon = “Public Policy” maksudnya adalah bahwa Hakim pengadilan berpatokan pada sikap Executif mengenai pelaksanaan ketertiban umum. Bila pihak Executif mengakui suatu Negara sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, maka Yudikatif tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan dari Negara tersebut.

Contoh: Princess Palay Olga Cases:
- Princess Palay Olga (PPO) adalah puteri keturunan bangsa Rusia yang lari ke Inggris ketika terjadi revolusi di Rusia, dan menetap di Rusia;
- Beberapa tahun kemudian ia melihat ada lukisannya dan keluarganya pada keluarga WN Inggris, ternyata mereka telah membeli lukisan tersebut pada Pemerintah Rusia;
- Ia lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris bahwa lukisan tersebut dijual tanpa pemberian ganti rugi;
- Menurut hukum Inggris tidak boleh ada pencabutan hak milik tanpa ada ganti rugi, Namun Hakim Inggris menyatakan “tidak kompeten / berwenang” mengadili perkara ini;
- Bahwa pencabutan hak milik tanpa ganti rugi yang dilakukan RUSIA tidak melanggar “ketertiban umum”, bila Negara yang melakukan perbuatan tersebut adalah Negara yang diakui secara resmi oleh Inggris sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat (Act of State doctrine);
- Pada saat itu Inggris sudah mengakui RUSSIA sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.

Macam-macan Ketertiban Umum:

I.Ketertiban Umum Nasional / Intern
Kaedah-kaedah yang membatasi kebebasan dari perorangan (lebih luas dari ketertiban umum Internasional);
Misalnya : kaedah hukum perdata mengenai batas umur atau dera
jat kekeluargaan berkaitan dengan perkawinan.
- Seorang WN mesir (Islam) di Perancis dan dianggap sudah dewasa berdasarkan hukum nasionalnya, meskipun menurut hukum Perancis dewasa itu 21 tahun.
- Hkm Perdata Perancis mengenai kedewasaan hanya termasuk “ketertiban umum intern” tidak bersifat “ketertiban umum internasional”, sehingga tidak cukup kuat untuk berlaku internasional;
- Sebaliknya seorang lelaki Mesir beragama Islam tidak akan dapat diperkenankan untuk menikah dengan seorang isteri kedua di Perancis, walaupun hukum nasionalnya membolehkan. Ini karena hukum Perancis melarang poligami dan dianggap termasuk bidang ketertiban international.

II. Ketertiban Umum International / Extern
Kaedah-kaedah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan
Negara pada umumnya, kepentingan rakyat secara umum. Kaedah
kaedah yang membatasi kekuatan extra territorial dari kaedah
asing.

Pembatasan/ Relatifitas ketertiban Umum
I. Faktor Waktu : - De Ferrari Case
Ketertiban umum di suatu waktu berbeda dengan ketertiban
umum di waktu lainnya.
Contoh: perceraian -> disuatu Negara yang dahulu tidak diperbo-
lehkan, sekarang menjdi bisa(pisahranjang perceraian)

II. Faktor Tempat :
Ketertiban umum disauatu tempat tidak sama dengan ketertiban
Umum di tempat lainnya.
Contoh: Poligami di Indonesaia dibolehkan, di Perancis dilarang;

III. Faktor kepentingan masyarakat / Intensitas / Inlandsbezi
Ketertiban umum yang dikaitkan dengan kepentingan suatu Negara dan mempunyai hubungan erat dengan peristiwa-peristiwa politik, contoh :perkara : BREMEN Tobako Case

Keterkaitan
- tidak dapat ditentukan secara apriori apa yang termasuk ketertiban umum, tergantung pada factor-faktor diatas. Sang hakimlah yang menentukan apakah suatu tindakan termasuk ketertiban umum atau tidak.




Kuliah Hukum Perdata International (8)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

KAEDAH HUKUM MEMAKSA (MANDATORY RULES)

Kaedah Hukum memaksa (mandatory rules) dalam HPI sering kali menjadi kompleks, karena keberlakuannya tidak dapat dikesampingkan oleh kesepakatan antar para pihak. Ada kemiripan dengan situasi dimana berlakunya sistim hukum asing harus dikesampingkan atas dasar “bertentangan dengan kepentingan umum”. Namun meski dalam penerapan ada kemiripan, tetap ada perbedaannya.

Perbedaannya antara lain :
- dasar pemberlakuan “ketertiban umum” dimaksudkan sebagai upaya defensive / mempertahankan untuk mencegah timbulnya akibat-akibat negative dari pemberlakuan hukum asing terhadap kepentingan nasional forum;
- dasar pemberlakuan “ mandatory laws” harus diberlakukan, tanpa melihat isi dari kaedah hukum asing yang seharusnya diberlakukan.

Pemberlakuan “mandatory rules” seringkali menjadi krusial dalam HPI, khususnya pada bidang-bidang kontrak yang didasrkan atas kebebasan para pihak menentukan hukum yang berlaku atas kontrak mereka. Dengan kata lain “mandatory rules” akan membatasi para pihak dalam transaksi International, hal ini disebabkan oleh latar belakang pemberlakuan mandatory rules yang dianggap sebagai aturan umum yang mencerminkan kebijakan dasar (fundamental policy) dari Negara yang memberlakukannya.

Namun dalam praktek tidak mudah untuk menentukan apakah suatu aturan hukum dapat dikatagorikan sebagai mandatory atau tidak? Persoalan ini biasanya dijawab melalui tindakan penafsiran dan konstruksi hukum (legal interpretation and construction) pada tingkat domestic, dengan mempertimbangkan substansi serta kebijakan dasar yang melatar belakangi aturan-aturan itu.

Dari segi International, persoalan ini menjadi lebih rumit, karena tidak semua aturan hukum yang bersifat memaksa dalam persoalan-persoalan hukum yang bersifat domestic, dengan sendirinya menjadi bersifat memaksa pula dalam arti International.

Konsep kaedah hukum memaksa (mandatory rules) umumnya digunakan untuk menjadi dasar pemberlakuan:
- Aturan-aturan hukum yang khusus dimaksudkan untuk mengatur masalah-masalah ketenagakerjaan dan perlindungan konsumen;
- Aturan-aturan hukum dari sebuah Negara yang dipertautkan (connected) oleh semua elemen yang relevan dalam suatu persoalan hukum, kecuali pilihan hukum para pihak;
- Aturan-aturan badan pengadilan yang menjadi perkara;
- Aturan-aturan hukum dari suatu Negara yang memiliki kaitan nyata dengan situasi tertentu walaupun hukum Negara itu bukan merupakan lex causae;

Pengertian “hukum memaksa” sebenarnya dapat diartikan sebagai dua konsep yang agak berbeda satu sama lain, yaitu dalam arti:

1. Domestik
Aturan-aturan hukum yang memaksa dari forum yang tidak dapat dikesampingkan melalui perjanjian. Aturan-aturan ini diberi sifat memaksa atas pertimbangan terhadap akibat yang ditimbulkannya secara domestic apabila ia dikesampingkan melaluiperjanjian para pihak. Jika di dalam negeri system hukum ybs melarang penyimpangan terhadapnya melalui perjanjian, umumnya penyimpangan dalam hubungan hukum yang bersifat international pun akan dianggap dilarang.
Misalnya : UU ketenagakerjaan Indonesia yang mewajibkan pembayaran upah sekurang-kurannya (minimum) sesuai dengan indeks Upah Minimum Regional yang berlaku di wilayah tertentu di Indonesia, dan perusahaan serta pekerja dalam tingkat domestic tidak dapat membuat kontrak kerja dengan pembayaran upah yang lebih rendah dari UMR, maka suatu kontrak kerja yang bersifat internasional pun tidak dapat menyimpang dari UMR itu melaluikesepakatan para pihak jika konrak kerja itu tunduk pada hukum Indonesia.

Jadi dalam arti ini sifat memaksa dari mandatory laws akan berlaku juga dalam kontrak international apabila persoalan hukum yang menjadi pokok perkara memang memiliki kaitan nyata hanya ke hukum Indonesia atau jika perkara diajukan di depan Pengadilan Indonesia.

2. Internasional
Aturan-aturan hukum yang tidak dapat dihindarkan berlakunya melalui pilihan hukum kearah sistim hukum lain selain system hukum yang menyatakannya sebagai aturan yang memaksa. (Tidak dapat dikecualikan oleh pilihan hukum).
Kaedah-kaedah hukum memaksa dalam arti ini juga menunjuk pada aturan-aturan hukum yang pada dasarnya tidak dapat dikesampingkan, baik melalui perjanjian maupun kesepakatan diantara para pihak atau melalui pemberlakuan system hukum lain yang berlaku, baik karena pilihan hukum maupun karena ditunjuk kaedah-kaedah HPI lex fori.

Persoalan: apakah ada perbedaan pemberlakuan mandatory rules dari lex fori dengan mandatory rules dari suatu sistim hukum asing (lex causae)?

- Untuk mandatory rules dari lex fori, umumnya diterima azas bahwa pengadilan wajib untuk memberlakukannya dengan tidak mempedulikan hukum apa yang akan diberlakukan sebagai lex causae dari seuatu perkara. Pegangan Pengadilan/Hakim untuk memberlakukannya adalah prinsip bahwa mandatory rules dari lex fori yang tidak dapat dikesampingkan dalam perkara HPI adalah mereka yang substansinya berkaitan dengan penegakan nilai-nilai ketertiban umum di negara forum.

- Untuk mandatory rules dari hukum asing (foreign mandatory laws), doktrin HPI belum terlalu jelas, tetapi dalam beberapa konvensi HPI diterima prinsip bahwa mandatory laws asing hanya dapat dipertimbangkan untuk diberlakukan apabila:
- sistim hukum asing itu memiliki kaitan yang cukup nyata dengan perkara (close conection rule), dan
- berdasarkan hukum asing itu, aturan-aturan tersebut memang harus diberlakukan tanpa memperhatikan hukum yang seharusnya berlaku;

Di Belanda kaidah-kaidah hukum memaksa (voorrangsregels) dipahami sebagai kaedah-kaedah HPI Unilateral yang harus diberlakukan demi pengamanan terhadap kepentingan umum dari Negara forum.

Di dalam doktrin conflict of laws Amerika Serikat, diterima prinsip bahwa khusus untukpersoalan-persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan sendiri oleh para pihakberdasarkan persyaratan dalam kontrakmereka, kebebasan para pihak untuk memilih hukum praktis tidak dibatasi sama sekali. Jika kontrak tidak dapat menyelesaikannya karena persoalan yang diatur mandatory laws, para pihak dapat memilih untuk memberlakukan kaedah memaksa dari system hukum asing, kecuali bila:
1. Negara yang dipilih tidak memiliki kaitan yang substantive dengan para pihak atau dengan transaksi mereka dan tidak ada dasar pertimbangan lain yang reasonanble untuk memilih hukum Negara tersebut, atau
2. pemberlakuan hukum dari Negara yang dipilih itu akan bertentangan dengan kebijakan dasar dari Negara yang secara objektif memiliki kepentingan yang lebih besar dari pada Negara yang dipilih dalam penyelesaian perkara ybs.


Kuliah Hukum Perdata International (9)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

KONSEP HAK-HAK YANG DIPEROLEH (VESTED RIGHTS) DALAM HPI

Istilah “hak-hak yang diperoleh” sering disebut dengan right and obligations created abroad atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi persoalan dalam HPI, apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori (Sunaryati hartono).

Menurut Prof. SUDARGO GAUTAMA:
Dalam HPI masalah “Vested rights” ini dikemukakan untuk memasalahkan sejauh mana perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-fakta akan mempengaruhi berlakunya kaedah-kaedah hukum yang semula digunakan.

Contoh:
A WNI dan berdasarkan hukum Indonesia telah diakui sah sebagaim ppemegang hak milik atas suatu benda bergerak. Pada suatu saat A mengubah status keWNannya menjadi WN Republik Rakyat Cina. Menurut hukum positif cina, dianggap saja A belum dapat dianggap sebagai pemilik yang sah atas benda bergerak itu.

Masalah:
Apakah karena perubahan keWNan dari Indonesia menjadi Cina, hak milik atas barang bergerak yang semula melekat pada A, kemudian akan dianggap tidak ada ?

Jika Hakim atau hukum RRCina menganggap bahwa “suatu pemilikan atas benda bergerak dianggap sah berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku, akan tetap diakui sahdi mana pun hak itu hendak ditegakkan”, maka dapatlah dikatakan bahwa pengadilan Cina menerima prinsip “hak-hak yang diperoleh” (vested right)

Vested Rights dapat didefenisikan sebagai :
Suatu perbuatan yang dilakukan di luar forum dapat menerbitkan suatu hak yang melekat pada pihak penggugat dan akan dilaksanakan atau diakui oleh forum tempat hak itu diajukan sebagai perkara.

Hak dan kewajiban hukum yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu kaedah hukum haruslah dihormati oleh siapa saja, termasuk oleh lex fori, kecuali bila pengakuan terhadap hak-hak semacam itu akan menimbulkan akibat yang bertentangan dengan public order dari masyarakat forum.

Pandangan atau asas ini berkembang pada masa memuncaknya pandangan hidup individualistic yang menganggap bahwa hak milik mempunyai kekuatan hukum yang mutlak di mana pun dan terhadap apap pun. Namun dengan perkembangan pandangan “hak milik mempunyai fungsi social”, doktrin Vested rights ini mengalami pergeseran dan orang cenderung menganut ajaran secara terbatas (qualified)

Dalam arti yang terbatas, maka Vested rights atau hak-hak yang diperoleh akan bererti:
“Hak-hak yang dimiliki seseorang (suatu subjek hukum) berdasarkan kaedah hukum asing dapat diakui didalam yuridiksi lex fori, selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat lex fori”.

Dengan kata lain: “Hak-hak yang diperoleh” dapat diakui selama pengakuan itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum lex fori atau dengan asas-asas keadilan yang hidup dalam masyarakat forum.



Kuliah Hukum Perdata International (10)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

PERSOALAN PENDAHULUAN & DEPECAGE

Pengertian:

“Persoalan Pendahuluan” (incidental question) dalam HPI adalah suatu persoalan / masalah HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan terlebih dahulu sebelum putusan terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh Hakim.

Prof. Cheshire dlm bukunya Private International Law:
“Adakalanya dalam suatu perkara HPI, pengadilan tidak saja dihadapkan pada masalah utama, tetapi juga suatu masalah subsider. Setelah hukum yang harus diberlakukan terhadap masalah utama ditetapkan melalui penerapan kaedah HPI yang relevan, maka kemungkinan ada kebutuhan untuk menentukan kaedah HPI lain untuk menjawab masalah subsider yang berpengaruh terhadap penyelesaian masalah utama.”

Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan pendahuluan (incidental question), maka perlu dipenuhi tiga persyaratan:
- “Main issue” yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang bedasarkan kaedah HPI forum harus tunduk pada hukum asing;
- Dalam perkara yang sama harus terdapat “subsidiary issue” yang mengandung unsure asing, yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan melalui penggunaan kaedah HPI lain secara independent;
- Kaedah HPI untuk menentukan lex causae bagi subsidiary issue akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dihasilkan seandainya lex causae dari main issue yang digunakan;

Pada dasarnya sangat jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan incidental question dapat memenuhi criteria, oleh karenanya dalam praktek criteria tersebut diterapkan tidak terlalu strict /kaku. Sebagai contoh fleksibilitas penerapanmisalnya dalam kasus “Pewarisan atas benda bergerak” adalah sebagai berikut:
- criteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris meninggal dunia, ia berkedudukan tetap di Negara forum;
- criteria ketiga dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yg berdomicili di Negara asing membuat terstament yang menyatakan untuk memberikan harta warisannya untuk anak sahnya, padahal lex fori dan hukum asing tersebut memiliki kesamaan dalam menentukan apakah anak tersebut adalah anak yang sah atau tidak sah.
Dengan tidak dipenuhi kriterianya, maka perkara tidak perlu diselesaikan dengan menggunakan methode penyelesaian dalam incidental question.

Cara penyelesaian
Teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu:

1. Absorption
Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan kaedah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk menjawab “persoalan pendahuluan”. Jadi setelah lex causae untuk masalah pokok ditetapkan kaedah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukan pada lex causae yang sama. Cara ini disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.

2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causae untuk maslah pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan mengabaikan lex causae dari masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaedah HPInya yang relevan khusus untuk menetapkan lex causae masalah pendahuluan. Cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.

3. Pendekatan Kasus demi Kasus
Penetapan lex causae untuk masalah pendahuluan atau incidental question dilakukan dengan pendekatan kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakekat perkara atau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara.

Prof. Cheshire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental questions diselesaikan melalui absorption. Namun Cheshire cenderung untuk menggunakan pendekatan kasuistis (case by case approach) dengan memperhatikan kelas, jenis perkara yang dihadapi.
Misalnya:
- perkara HPI bidang pewarisan benda-benda bergerak sebaiknya digunakan absorption; sedangkan
- perkara dibidang perbuatan melawan hukum (tort) atau kontrak sebaiknya digunakan repartition.

Di Belanda, pengadilan lebih banyak menggunakan repartition, MA Belanda (Hoge Raad) menetapkan bahwa pada dasarnya masalah hukum yg berlaku dalam persoalan pendahuluan (voorvraag) harus dijawab melalui repartition. Namun dengan pengecualian bahwa absorption dapat digunakan apabila terdapat keterkaitan yang kuat antara masalah pokok (hoofdraag) dengan persoalan pendahuluan (voorvraag).

Di Inggris, ada kecenderungan untuk melakukan absorption.

Contoh-contoh Kasus

1. RE MAYS ESTATE (1953)
Kasus Posisi:
- Sam dan Fannie May (Paman dan kemenakan, WNAmerika keturunan yahudi) berkediaman tetap di Negara Bagian (NB) New York, Amerika serikat. Berdasarkan hukum NB New York perkawinan antara paman keponakan dianggap batal demi hukum karena bersifat incestuous (jinah), karenanya tahun 1913 Sam dan Fannie May menikah di NB Rhode Island berdasarkan kaidah hukum adat Yahudi Hibrani dan diakui menurut NB itu. Dua minggu setelah perkawinan mereka kembali ke NB New York hidup disana sebagai suami istri selama 32 tahun dikaruniai 6 orang anak;
- Tahun1945, Fannie May meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta benda yang dikuasai Sam suaminya. Kemudian salah seorang anaknya mengajukan gugatan di Pengadilan New York untuk menentang kewenangan Sam May (ayahnya) untuk menguasai dan mengurusi kekayaan peninggalan istrinya. Dasar gugatannya , karena perkawinan Sam dan Fannie May did an berdasarkan hukum Rhode Island dianggap tidak sah.

Persoalan Hukum:
a. Apakah Sam may berwenang untuk menguasai dan mengurus harta Fannie May, dengan alas hak sebagai pasangan yang masih hidup dari suami –istri yang telah menikah dengan sah. Hal ini harus diputuskan berdasarkan lex domicile dari Sam dan fannie, yaitu hukum New York. Gugatan sang anak inilah menjadi masalah pokok (main question) dalam kasus ini;
b. Untuk memutus perkara ini Pengadilan New York menghadapi kenyataan bahwa mereka harus memutuskan dahulu, apakah perkawinan Sam dan Fannie may did an berdasarkan hukum Rhode Island dapat diterima sebagai perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah incidental question yang harus diputuskan sebalum hakim memutus persoalan pokoknya.

Fakta Hukum:
- Hukum New York, menganggap perkawinan paman keponakan incestuous, karenanya batal demi hukum;
- Kaidah HPI New York tidak jelas mengenai keabsahan perkawinan dan pengakuan keabsahannya perkawinan dua orang warga New York yang diresmikan di Negara lain, karena itu sah tidaknya perkawinan harus ditentukan berdasarkan hukum tempat peresmian perkawinan (lex loci celebration);
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang dianggap sah berdasarkan kaidah-kaedah agama dan tradisi tertentu, akan dianggap sah pula berdasarkan hukum Negara;

Proses Pemeriksaan Perkara
Langkah berpikir dan pertimbangan hakim New york:
a. Hakim NY pertama menunjuk kea rah hukum Rhode Island sebagai
lex loci celebrationis untuk menentukan keabsahan pperkawinan Sam & Fannie May karena hukum intern NY sendiri tidak jelas mengenai hal itu;
b. Perkawinan Sam dan Fannie Mayadalah perkawinan agama (Hibrani) yang sah dan perkawinan itu diakui sah pula oleh lex loci celebrationis (hukum Rhode Island);
c. Berdasarkan pertimbangan itu, hakim memutuskan bahwa perkawinan Sam dan Fannie May (incidental question) adalah perkawinan yang sah;
d. Karena perkawinan Sam & Fanie dianggap sah, maka berdasarkan hukum NY (hukum main question) dari suatu perkawinan yang sah akan terbit kewenangan pada pasangan yang masih hidup untuk menguasai dan mengurus kekayan dari pasangan yang telah meninggal terlebjh dahulu;
e. Sam may berhak untuk tetap menguasai kekayaan peninggalan Fannie dalam kedudukannya sebagai suami yang sah.
Jadi dalam perkara ini hakim NY telah melakukan Repartition, dengan menundukkan persoalan pendahuluannya (sah/tdknya perkawinan) pada sistim hukum yang berbeda (hukum Rhode island) dari sistim hukum yang digunakan untuk menjawab masalah pokoknya (hukum NY).

2. Perkara Lawrence VS Lawrence (1985)
Kasus posisi:
- Sepasang suami istri menikah dan berdomisili di Brazil, pada tahun 1970 istri memperoleh “putusan cerai” dari suaminya di pengadilan Negara Bagian (NB)Nevada Amerika serikat.
- Berdasarkan putusan pengadilan Nevada itu, sang istri menikah lagi dengan seorang WN AS / Nevada, perkawinan dilangsungkan di Nevada.;
- Beberapa waktu kemudian suami mengajukan permohonan pengesahan perkawinannya dengan si wanita itu di pengadilan Inggris.

Fakta hukum:
- Kaidah HPI Inggris: Kapasitas hukum wanita untuk menikah kembali tunduk pada hukum tempat domisili wanita itu;
- Kaidah HPI Inggris lain: Sah tidaknya perceraian harus diatur berdasarkan hukum dari tempat dimana perceraian dilaksanakan;
- Kaidah HPI Infggris lain: sah tidaknya suatu perkawinan harus ditetapkan hukum dari tempat perkawinan dilaksanakan;
- Kaidah Hukum intern Brazil: perceraian atas sebuah perkawinan yg dilakukan di Brazil, yang dilakukan di luar negeri, tidak memilikimkekuatan berlaku di Brazil;

Proses penyelesaian perkara:
a. persoalan pendahuluannya (vorfrage) dalam perkara ini: apakah si wanita memiliki kapasitas hukum menikah kembali;
b. persoalan pokoknya (Hauptfrage) dalam perkara ini: apakah Pengadilan Inggris harus menguatkan perkawinankedua dari si waniita itu dengan pemohon;
c. Untuk menjawab Vorfrage, hakim Inggris berpendapat ia harus mempertimbangkan fakta hukum bahwa:
- Berdasarkan hukum Brazil (lex domicile wanita) menganggap bahwa siwanita tidak mempunyai kapasitas untuk menikah lagi, karena perceraian dari suami pertama tidak sah;
- Akan tetapi berdasarkan hukum Nevada (lex loci celebrationis perceraian) bahwa perceraian Nevada itu adalah perceraian yang sah;
d. Hakim dalam putrusannya menetapkan bahwa Vorfrage dalam perkara ini tunduk pada hukum tempat perceraian diresmikan, sehingga lex causae nya adalah hukum Nevada, yang menganggap si wanita memiliki kapasitas hukum untuk menikah kembali;
e. Berdasarkan hal itu, hakim kemudian menguatkan perkawinan kedua yang dilakukan secara sah berdasarkan hukum Nevada (lex causae untuk Hauptfrage). Permohonan pemohon dikabulkan.


DEPECAGE
Dalam bahasa Prancis, DEPECAGE berarti “pemecahan” atau “pemilahan”. Pembahasan mengenai Defecage ini dalam konteks HPI sebenarnya menimbulkan kemungkinan yang mirip dengan situasi “incidental question” meski tidak sepenuhnya sama.

Defecage adalah tindakan untuk menundukkan persoalan-persoalan tertentu yang mungkin terbit di dalam sebuah peristiwa atau hubungan hukum pada system-sistem hukum yang berbeda.

Sebagai contoh:
- Persoalan pewarisan yang dibuat WNI melalui pembuatan testament yang dilaksanakan di Singapura. Jika perkara gugatan atas testament diajukan di pengadilan Indonesia, secara umum orang mengatakan bahwa perkara tunduk pada system hukum dari tempat pembuatan testament. Akan tetapi jika memilah-milah perkara ini dalam sub-subpersoalan, misalnya subpersoalan tentang:
1. keabsahan formal dari testament;
2. subpersoalan tentang kemampuan hukum si pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat testament;

kemungkinannya:
- submasalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedangkan
- submasalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia;
Tindakan “memilah dan memilih” inilah yang dimaksud dengan DEPECAGE. Yang menjadi pertanyaan dalam perspektif HPUI adalah apakah orang dapat melakukan pemilahan seperti itu.

Contoh lain:
- Gugatan ganti rugi seorang wrga NB New York atas perbuatan melawan hukum (PMH) yang dilakukan di NB Texas oleh seorang warga Texas, dan gugatan diajukan di NB New York.

Kemungkinannya:
- Jika permasalahan pokoknya perbuatan Tergugat dapat dikatagorikan sebagai PMH (masalah substansi), maka yang berlaku kaedah hukum Texas sebagai lex loci delicti, namun
- Jika yang menjadi persoalan pokok apakah besarnya ganti rugi yang diminta terbatas jumlah tertentu atau tidak (procedural), maka persoalan ini mungkin akan ditundukkan dan diselesaikan berdasarkan hukum New York sebagai lex fori.

DICEY dan MORRIS, dalam konteks perjanjian/kontrak HPI, membedakannya:
1. Tidak semua persoalan yang timbul dari sebuah hubungan kontraktual dengan sendirinya harus diatur berdasarkan satu hukum yang sama. Jadi sangat mungkin jika hukum yang dipilih para pihak digunakan menyelesaikan masalah sah tidaknya kontrak (validity), masalah bentuk kontrak mungkin ditundukan pada lex loci contractus, atau kemampuan hukum para pihak ditundukkan pada hukum personal masing-masing;
2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan atas bagian-bagian sebuah kontrak, missal: salah satu kewajiban kontraktual ditundukan pada hukum A, sedangkan kewajiban kontraktual lain dari kontrak yang sama ditundukan pada hukm B.

HPI Traditional (eropah) secara teoritis bertitik tolak dari prinsip bahwa sebuah hubungan hukum seharusnya tunduk pada satu system hukum (jurisdiction selecting approach), namun dalam keadaan tertentu DEPECAGE dapat diperlakukan sebagai kekecualian:
- pelaksanaan kewajiban para pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat yang berbeda;
- para pihak sepakat untuk “memecah” sebuah kontrak kedalam bagian-bahian tertentu dan menundukkan masing-masing bagian itu pada system hukum berbeda-beda, atau
- karena submasalah tertentu dari suatu hubungan hukum tertentu ternyata memiliki kaitan nyata yang lebih besar pada sebuah system hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan pilihan hukum para pihak / berdasar kaidah HPI.

Dalam system Conflict of laws Amerika Serikat, pada dasarnya menaggap tugas HPI menetapkan aturan hukum local yang mana dalam sebuah penyelesaian sebuah hubungan/peristiwa hukum (rule selecting approach), menganggap DEPECAGE sebagai sesuatu yang alamiah. Penyelesaian conflict of laws harus dilakukan atas dasar analisis kasus perkasus (case-by case analysis), sehingga adalah wajar bila salah satu kasus harus tunduk pada system hukum yang berbeda dari system hukum yang diberlakukan untuk kasus lain yang timbul dari hubungan/peristiwa hukum yang sama.



Kuliah Hukum Perdata International (11)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

PENYELUDUPAN HUKUM
Istilah-istilah:
- Wetsontduiking (Belanda), “fraude a la loi” (Perancis), “fraus legis” (Latin), “Gesetzesumgehung”, das Handeln in fraudem legis” (Jerman), “fraudulent creation of point of contacts” (Inggris), “frode alla legge” (Italia).

- Hubungan Penyeludupan Hukum (PH) dengan Ketertiban Umum (Tibum), kedua-duanya bertujuan agar hukum nasional digunakan dengan mengenyampingkan hukum asing. Sama-sama mengesampingkan kaedah hukum tertentu;
- perbedaan antara PH dengan Tibum:
Tibum : Hukum nasional dianggap tetap berlaku;
(Pengesampingan dilakukan untuk kepentingan hakim)
PH : Hukum nasional tetap berlaku dan dianggap tepat pada suatu
peristiwa hukum saja, karena sifatnya menghindarkan hukum
nasional; (Casuistis dalam kasus-kasus tertentu saja, biasanya
para pihak atas saran pengacaranya);

Penyeludupan hukum (PH) : kaedah-kaedah hukum asing kadang-kadang dikesampingkan dan menggunakan hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan / tujuan tertentu.

Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi orang-orang Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.

Perkawinan orang-orang Indonesia di Penang atau Singapur
- larangan menikah karena adanya ketentuan larangan kawin sebelum lewat 300 hari bagi perempuan menurut BW, disiasati dengan melakukan perkawinan di Penang atau Singapur;
- kalau sekarang banyak digunakan oleh pasangan yang berbeda agama.

Contoh-contoh penyeludupan hukum:
f. perkawinan untuk memperoleh kewarganegaraan;
( Wanita asing yang menikah dengan pria Indonesia, berdasarkan Psal 7, 8 UU Kewarganegaraan tahun 1958, memperoleh kewarganegaraan Indonesia);

g. perkawinan untuk menghindari pengusiran;
( Wanita-wanita asing yang secara tergesa-gesa menikah dengan pria Belanda pada masa perang, dengan maksud menghindarkan pengusiran oleh jawatan Imigrasi)

h. perkawinan untuk dapat bekerja;
(wanita asing yang menikah dengan pria WNI untuk dapat bekerja menghindarkan ijin kerja khusus WNA berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan (UU No.3 tahun 1958)

-Percreaian:
Kasus Cerai kawin di ZEVENBURGEN
Bagi WN Italia dan Austria yang tidak bias bercerai (karena hukumnya tidak mengenal cerai, hanya sepakat pisah) pergi ke Honggaria naturalisasi jadi WN Honggaria dan anggota jemaat protestan di gereja Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempay tidur bias diubah menjadi perceraian;

Naturalisasi di Eslandia:
- Van A WN Belanda menikah di Indonesia dengan WN Belanda;
- bercerai menurut BW (KUHPerdata) belum cukup alasan, maka hanya pisah meja dan tempat tidur;
- pergi ke Negara Baltik, Eslandia naturalisasi ke Eslandia dan mengajukan perceraian;
- Van A menikah lagi dengan wanita lain dilangsungkan di Scotlandia.

Kasus Mr. I. Tj.
i. Mr. I Tj. Pengacara WNI (Islam) menikah dengan Ny. JMR (WN Belanda) masuk Islam;
j. Ny. JMR ke labuan Bilik batu mengucapkan “ikrar murtad” di depan Raad Agama Kerapatan Besar negeri Panei, Raad Agama memutuskan jika sudah murtad tunggu 3 x suci, jika masih murtad talak jatuh pada tanggal nikahnya.
k. Ternyata JMR menikah lagi di Surabaya dengan WN Belanda.
l. Alasan murtad dapat dijadikan alasan perceraian, penyeludupan hukum yang dilakukan JMR berhasil.

Sifat penyeludupan Hukum:
m. menggunakan HPI untuk tujuan tertentu, supaya attas hubungan non hukum tertentu diperlakukan hukum yang lain dari pada apa yang seharusnya akan dipergunakan.

Tujuan penyeludupan hukum:
n. untuk dapat mmenghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dapat dikehendaki.

VESTERS – DUBINK: penyeludupan hukum terjadi apabila seorang berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dipergunakan dalam undang-undang, tetapi melawan jjiwa dan tujuannya, secara muslihat melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk menghindarkan berlakunya kaedah-kaedah hukum tertulis / tidak tertulis.

Akibat-akibat Penyeludupan Hukum:
o. setiap penyeludupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan bersangkutan.
p. Ungkapan yang terkenal: fraus omnia corrumpt, artinya penyeludupan hukum mengakibatkan bahwa perbuatan hukum itu dalam kkeseluruhannya tidak berlaku.
q. Prinsip ini dianut oleh Perancis.
Contoh kasus : peristiwa putrid De Bauffrement.



Kuliah Hukum Perdata International (12)
(Dosen: Abdul Fickar Hadjar, SH., MH)

PILIHAN HUKUM
- Pilihan Hukum sudah umum diterima dalam praktek bisnis bagi pihak-pihak yang menyepakati. Yang dipilih dalam pilihan hukum adalah sistim hukumnya, bukan perundang-undangannya;
- Tidak dapat diterapkan terhadap permasalahan diluar bidang kontrak.

Pilihan Hukum merupakan kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk menentukan hukum yang akan berlaku bagi konntrak yang dibuatnya;
Intisari pilihan hukum adalah otonomi;
- penemu Pilihan Hukum ---- DUMOULIN (Perancis).

Batasan Penggunaan Pilihan Hukum

a. Tidak bertentangan dengan “ketertiban umum”
Bahwa hukum yang digunakan oleh para pihak itu tidak bertentangan dengan asas-asas / sendi hukum sang hakim dan salah satu pihak;

b. Tidak boleh menjelma menjadi pilihan hukum:
Penyeludupan hukum--- tindakan para pihak untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku baginya dengan itikad yang buruk;

c. Hanya boleh mengenai bidang kontrak
Titik pertalian yang objektif, digeser oleh pilihan hukum
Pergeseran titik pertalian objektif, contoh:
- kewarganegaraan (Wanita Asing X Pria WNI )
- domisili ( di Negara-negara yang menganut system domisili, perpindahan domisili tersebut akan dapat menggeser titik ppertalian yang objektif, yaitu hukum dari negaranya, Contoh Inggris--- ke USA)
- pilihan hukum dapat berubah menjadi penyeludupan hukum apabila menggeser titik pertalian objektif (domisili, keWNan, lex rei sitae, lex loci contractus);
- pilihan hukum dapat berubah menjadi penyeludupan hkum apabila hal tersebut dilakukan terhadap sistim hukum yang ada hubungannya dengan kontrak (ada / tidaknya hubungan dengan isi kontrak-- dilihat dari ada / tidak “red connection” dengan isi kontrak).

d. Harus ada red connection dengan isi kontrak;

e. Red Connection dengan perbuatan hukum;

f. Khusus di Indonesia --- untuk kontrak kkerja yang dilakukan di Indonesia harus dipakai hukum Indonesia (merupakan kebijakan ekonomi nasional);

g. Berdasarkan perkembangannya, pilihan hukum tidak diperkenankan terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Pemerintah Ybs. Contoh: PP No. 16/1997 mengenai Waralaba, tidak diperkenankan menggunakan sistim hukum selain hukum Indonesia.

Macam-macam Pilihan Hukum

a. Pilihan hukum secara tegas
secara jelas dicantumkan dalam kontrak;
pengecualian --- pilihan hukum di Negara-negara bagian (AS)
Clausula penyelamatan suatu kontrak
Contoh: AXB-- apabila isi/clausula dan pasal didalam kontrak bertentangan dengan hukum B, maka hukum yang digunakan adalah hukum B;

b. Pilihan hukum secara diam-diam
Dilihat dari:
Isi Kontrak - dalam klausulanya ditentukan adanya kewajiban bagi para pihak yang menunjukan pada sistim hukum tertentu;
Tindakan-tindakan para pihak yang menunjukan kearah suatu sistim hukum tertentu;
Contoh: - pengiriman barang menggunakan jasa pengangkut New
York;
- klausul-klausula dalam pasal mirip dengan klausula dalam sistim hukum New York jadi dianggap para pihak menundukan diri pada sistim hukum New york.

c. Pilihan hukum yang dianggap
Dugaan-dugaan fiktif dari sang Hakim dimana hakim menganggap para pihak telah memilih satu sistim hukum tertentu.

d. Pilihan hukum secara hipotetis
Berdasarkan dugaan-dugaan dari sang Hakim;
Lebih buruk dari (butir C) karena disini para pihak tidak bermaksud / tidak ada maksud / keinginan untuk memilih suatu hukum.

Pilihan Hukum alternative  asas favorable, sepanjang disepakati oleh para pihak;

Pilihan Hukum Selektif  dilakukan terhadap pilihan hukum suatu Negara yang memiliki kompleksitas sistim hukum.
Contoh: Indonesia ; hukum perdata barat, hukum Adat; hukum Islam.


Kuliah Hukum Perdata International (13)
Dosen : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH

PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM ACARA PERDATA INTERNATIONAL

A. PENDAHULUAN

Dalam konteks HPI, biasanya pelaku bisnis atau lawyers mereka umumnya mengandalkan aturan-aturan untuk menyelesaikan masalah secara damai, dan yang banyak menjadi perhatian adalah solusi atas persoalan hukum dari segi hukum materiil (substantive law). Kaedah-kaedah hukum perdata dan perdagangan umumnya dibuat untuk membantu pengambilan keputusan dalam mencapai hasil penyelesaian perkara yang palin baik dari segi substansi. Disinalah para ahli hukum mengandalkan hukum perikatan (law of obligation) atau hukum kontrak atau hukum tentang PMH atau hukumkeluarga, hukum kebendaan dan sebaagainya.

Namun tidak kalah pentingnya peranan kaedah-kaedah hukum formal / procedural / acara yang akan menetapkan bagaimana aturan penyelesaiaan sengketa harus dijalankan agar upaya penegakan hukum substantive dapat diwujudkan secara efektif.

Dalam konteks HPI, persoalan pokok hukum acara adalah menyangkut penentuan kewenangan mengadili dari sebuah forum apabila dihadapkan pada perkara yang mengandung unsure asing. Sebuah transaksi transnasional (melampaui batas Negara), maslah procedural dalam proses penyelesaian sengketanya juga akan bersifat khas.

Sebagai contoh:

Penggugat A yg berdomisili di Indonesia mengajukan gugatan ganti rugi di pengadilan Indonesia terhadap B yang berdomisili di Singapur.


Beberapa masalah khas yang mungkin muncul, yaitu:
1. Apakah pengadilan Indonesia mempunyai kompetensi / kewenangan untuk memutus perkara A dan B;
2. Jika mempunyai kompetensi, hukum manakah yang harus digunakan untuk memnyelesaikan masalah (hukum Indonesia atau Singapura). Masalah ini sebenarnya maslah HPI, tetapi diluar persoalan hukum acara;
3. Persoalan proses pengajuan Tergugat B ke pengadilan Indonesia, jika B tidak dipanggil dan diajukan sesuai tata cara hukum yang berlaku atau hukum international, maka pengadilan Indonesia tidak dapat memberikan putusan yg sah dan putusan itu tidak akan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan (di Indonesia, Singapura atau di mana pun);
4. Persoalan perolehan alat bukti atau saksi-saksi di luar negeri, sebagai pelaksanaan kewenangan peradilan suatu Negara di wilayah Negara lain. Butir 3 & 4 biasanya diatur convensi hukum international, jika tidak diatur hukum acara manakah yang harus berlaku? Ada dua pandangan yang berbeda :
a. Hukum acara forum (lex fori) yang mengadili perkara juga yang harus berlaku di wilayah Negara asing tempat alat bukti berada. Asas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan Negara yang antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan kewenangan yuridiksi pengadilan.
b. Penyelesaian urusan yang menyangkut pelaksanan kewenangan forum di wilayah Negara asing tidak selalu dapat ditundukan pada lex fori, tetapi tunduk pada lex fori asing (foreign jurisdiction / lex diligentiae)
5. Apabila pengadilan Indonesia telah memiliki kewenangan Yurisdictional, memutus perkara yang mengalahkan B dan eksekusi asset-aset B harus dilaksanakan pengadilan Singapura. Persoalannya jika tidak terdapat perjanjian saling mengakui dan melaksanakan putusan hukum yang dibuat di masing-masing Negara. (maslah HPI: recognition and emforcement of foreign judgements);
6. Persoalan penyelesaian sengketa melalui “arbitrase perdagangan international”, jika forum arbiter memutus atas dasar “ex Aequo et Bono”. Apakah kebebasan forum arbitrase bersifat mutlak atau kah forum tetap terikat untuk mendasarkan diri pada system hukum tertentu. Persoalan ini akhirnya membawa orang utuk menentukan hukum apa yang harus digunakan sebagai acuan dalam proses penyelesaian sengketa arbitrase.

B. PRINSIP HPI TENTANG DASAR PENETAPAN YURISDIKSI FORUM DALAM LITIGASI PERKARA
TRANSNASIONAL

Berbicara tentang yurisdiksi ekstrateritorial, atas dasar kedaulatannya setiap Negara berwenang sepenuhnya untuk mengklaim yurisdiksi atas subjek hukum, namun secara international diterima prinsip bahwa kewenangan semacam itu perlu dibatasi dan Negara-negara harus membatasi diri dalam mengklaim kewenangannya (self-restraint). Artinya setidaknya harus ada dasar yang kongkret bagi pengadilan sustu Negara untuk mengklaim yuridiksi ekstrateritorialnya. Dasar yang konkret itu umumnya ditentukan oleh ada-tidaknya suatu pertautan atau kontrak (connection) tertentu antara Negara dan badan peradilannya disatu pihak, dengan gugatan atau pihak-pihak dalam perkara dilain pihak.

Pengertian “Kewenangan Yuridiksional Forum” dalam konteks HPI
Masalah yurisdiksi secara luas dapat diartikan sebagai masalah apakah sebuah forum akan mengadili dan emutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Dalam HPI masalah ini menjadi lebih kompleks karena mencakup beberapa masalah:
1. Apakah Pengadilan Berwenang untuk Mengadili Perkara
Kompetensi mengadili adalah persoalan hukum acara, dan dalam hukum keperdataan biasanya bergantung dari penyampaian panggilan pengadilan kepada pihak tergugat (service of writ), dan panggilan hanya dapat disampaikan jika:
- tergugat berada secara fisik di dalam yurisdiksi pengadilan,
- tergugat menundukkan diri pada kewenangan yurisdiksional
pengadilan;
- pengadilan memerintahkan pemanggilan tergugat di wilayah di
luar yuridiksi pengadilan (service of writ out of the
jurisdiction).

2. Apakah Pengadilan akan Menolak Mengadili atau Tidak
Melanjutkan Proses Peradilan
Meski sebuah forum terbukti berwenang untuk mengadili, namun ia dapat menolak atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara, karena:
a. Asas forum nonconveniens
Penolakan dengan pertimbangan koneksitas antara para pihak tidak signifikan, sehingga perkara harus diajukan di Negara lain;
Asas lis alibi pendens
Terbukti proses pemeriksaan perkara yang sama sedang ber
jalan di hadapan forum Negara lain;
Asas res judicata
Perkara dan para pihak yang sama telah diadili dan diputus-
kan oleh sebuah forum lain dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

b. Keputusan melanjutkan pemeriksaan akan bertentangan dengan kewenangan yurisdiksional ekslusif atau bertentangan dengan klausula arbitrase yang disepakat para pihak.

3. Apakah ada Pembatasan terhadap Pengadilan dalam Melaksa
nakan Kewenangan Yurisdiksionalnya;
Meski pengadilan sudah melaksanakan panggilan dengan benar,
Yurisdiksi pengadilan masih mungkin dibatasi, yg mengakibatkan
Pengadilan dianggap tidak berwenang mengadili. Pembatasan
Pembatasa itu berkenaan dengan:
a. pokok perkara (subject matter), misalnya menyangkut tanah atau property di wilayah Negara asing;
b. jenis perkara yang diminta, misalnya pemberian izin untuk perceraian;
c. Subjek hukum terhadap mana tuntutan diajukan, misalnya gugatan terhadap Negara asing.

Dalam litigasi transnasional, asas actor squitur forum rei (tempat tinggal tergugat untuk menentukan tempat penadilan) ternyata tidak selalu dapat digunakan secara efektif, karena connections di bidang perkara HPI sering dibentuk melalui titk taut lain, seperti pelaksanaan kontrak atau tempat PMH di Negara forum.

Penentuan dasar yurisdiksi pengadilan, dalam praktek litigasi international umumnya dibedakan kedalam :
- yurisdiksi in personam;
- yurisdiksi in rem;
- yurisdiksi quasi in rem .

Yurisdiksi in personam adalah yurisdiksi atas orang, umumnya dianggap sebagai yurisdiksi tidak terbatas (unlimited jurisdiction), artinya pengadilan memiliki yurisdiksi / kewenangan untuk memutus perkara yang menyangkut tergugat untuk jumlah yang tidak terbatas dan menyangkut seluruh asetnya. Yurisdiksi ini timbul disebabkan oleh :
1. Kehadiran (Presence)
Kehadiran seseorang di wilayah suatu negara forum dianggap sebagai dasar yang cukup bagi forum untuk mengklian jurisdiksinya atas orang itu, namun kehadiran seseorang di sebuah Negara sekedar transit belum dianggap cukup untuk mengklaim yuridiksi;

2. Tempat Kediaman (domicilie)
Tempat kediaman tetap (domicilie) disustu Negara, dianggap sebagai dasar mengkliam yurisdiksi;
3. Penundukan sukarela (consent)
Penundukan sukarela seseorang ditunjukkan dengan seseorang mengajukan gugatan atau menjawab gugatan terhadap dirinya diforum suatu Negara. Yurisdiksi ini dikatagorikan sebagai yurisdiksi khusus (specific jurisdiction);

4. Pertautan Minimum (Minimum Contacts)
Adanya minimum contacts antara seorang dan Negara forum.

Yuridiksi in rem, adalah yuridiksi atas benda (thing/res) yang berada di wilayah Negara forum, yang secara langsung atau tidak berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Pengadilan yang memiliki yurisdiksi in rem memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa-sengketa yang berkenaan dengan title atas benda-benda tertentu yang berada di wilayah forum.

Yurisdiksi quasi in rem dikenal dalam system hukum acara Amerika, untuk perkara-perkara yang tidak langsung menyelesaikan gugatan atas kepemilikan tergugat atas suatu kebendaan yang berkaitan dengan perkara, tetapi hanya karena penggugat menuntut agar kekayaan tertentu milik tergugat yang ada di wilayah forum dilekatkan pada perkara, walaupun tidak ada kaitan langsung antara kekayaan dengan pokokperkara.

Beberapa Prinsip Penetapan Yurisdiksi dalam Litigasi International

1. Yurisdiksi Teritorial atas dasar Domisili (Tergugat)
Prinsip actor sequitur forum rei (gugatan diajukan ditempat tergugat tinggal) dimaksudkan sebagai upaya perlindungan hukum bagi pihak tergugat, yang mungkin akan menghadapi kesulitan dan ketidak adilan jika diadili di pengadilan negara asing. Rasio prinsip ini adalah domisili merupakan tempat tinggal seseorang secara terus menerus, karena itu ia dapat digugat tanpa pembatasan tertentu mengenai jenis perkara, tanpa ada persyaratan membuktikan connection domisili tergugat dengan pokok perkara, karenanya yurisdiksi ini memiliki general jurisdiction (GJ). GJ atas seseorang karena adanya pertautan (contact) antara forum dengan seseorang yang bersifat terus menerus (continous) dan sistematis (systematic), atas dasar yuridiksi ini seseorang dapat digugat apa saja di wilayah forum.

Tergugat (defendant) dapat berupa orang (natural person), juga berupa badan hukum (legal person). Bagi badan hukum tidak ditentukan berdasarkan domisili badan hukum, tetapi berdasarkan lokasi badan hukum. Negara-negara tertentu menetapkan lokasi atas dasar:
- tempat pengelolaan utama dan pengawasan (chief management and control) badan hukum itu berada (Prancis);
- tempat pusat operasi (central location of the companys operations) badan hukum itu (Jerman);
- tempat badan hukum didirikan secara hukum (place of incorporation – Inggris);

Amerika Serikat menentukan yuridikasi badan hukum berdasar:
a. Tempat usaha utama (principle place of business) diwilayah
negara forum;
c. Tempat Pendirian (state of incorporation) di Negara forum;
d. Adanya pertautan minimum (minimum contacts) dengan Negara forum;

2. Yurisdiksi Khusus dalam Perjanjian dan PMH
- Dalam perkara perjanjian, gugatan diajukan ditempat perjanjian dibuat (forum contractus), pada perkembangannya konsep ini bergeser kearah tempat pelaksanaan kontrak (forum solusionis).
- Dalam perkara perbatan melawan hukum (PMH/tort) umumnya mendasarkan pada asas forum delicti commisi (tempat dimana PMH dilakukan), namun dalam kontek PMH transnasional berkembang kearah pengakuan asas “place where the injury was sustained” (tempat dimana kerugian dianggap timbul).

3. Yurisdiksi karena Persetujuan
Yurisdiksi ekstrateritorial dapat diklaim oleh sebuah forum atas dasar kenyataan bahwa para pihak (terutama tergugat) telah secara sukarela memilih untuk mempertahankan dirinya dan harta kekayaannya didepan suatu forum asing, baik melalui:
- choice of forum clause didalam satu kontrak, maupun
- melalui persetujuan tertulis yang dibuat pada saat sengketa timbul;

4. Yurisdiksi atas dasar kewarganegaraan, Kekayaan, atau Pemunculan / Kehadiran
Dalam proses penyelesaian sengketa di bidang perdagangan modern dewasa ini, kewenangan suatu forum juga dibatasi prinsip-prinsip kewajaran dan keadaban / kepantasan (reasonableness and decency). Pembatasan itu dapat diberlakukan atas dasar:
a. Kemauan politik dari forum suatu Negara berdaulat untuk membatasi kedaulatan dan kewenangannya (souvereign selfrestraint);
b. Pemberlakuan batas-batas tertentu yang harus dipenuhi sebelum sebuah forum mengklaim yuridiksi;
c. Berlakunya aturan-aturan hukum nasional yang menetapkan batas-batas pelaksanan yuridiksi ekstrateritorial;
d. Penetapan inkompetensi oleh forum sendiri atas dasar doctrin forum noncomveniens (Negara-negara Common law) atau lis alibi pendens dan res judicata (Negara-negara Civil law);

Namun dalam kenyataan banyak Negara yang hukum acaranya tidak membatasi diri dalam klaim yuridiksi atas subjek hukum asing, dan menggunakan batas-batas yang berlebihan (oxorbtant jurisdictions bases), misalnya :
- menetapkan kewenangan yurisdiksi atas dasar hukum personal kewarganegaraan pihak penggugat (Prancis, Luxenburg, Belgia, Belanda), sementara WN mereka hanya dapat diadili di forum Negara mereka sendiri;
- yuridiksi tak terbatas atas dasar kehadiran benda milik tergugat di wilayah forum (Jerman);
- yurisdiksi forum atas tergugat ini tetap ada walaupun tidak ada pertautan antara benda milik tergugat dan perkara yang diajukan ke pengadilan itu (Denmark);

Asas lain dalam praktek international adalah asas forum rei sitae yang menerbitkan kewenangan yurisdiksional pada forum dari tempat letak benda yang melekat pada gugatan pihak tergugat.

Dasar lain untuk menetapkan kewenangan yurisdiksional adalah kehadiran fisik (physical presence) dari Tergugat di wilayah forum. Di beberapa Negara diterapkan secara berlebihan, dalam arti klaim yuridiksi diterapkan pada baik tergugat asing melakukan bisnis secara teratur di wilayah forum maupun terhadap transient defendant, atau tergugat yang sekedar mampir dan lewat di wilayah forum.

C. PERSOALAN-PERSOALAN KHUSUS TENTANG YURISDIKSI EKSTRATERITORIAL
(EXTRATERRITORIAL JURISDICTION)

Yang dimaksud dengan yurisdiksi ekstrateritorial adalah kewenangan pengadilan suatu Negara untuk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang tergugat (defendant) yang berkediaman tetap (domicile) di suatu Negara di luar Negara forum.

Asas yang berlaku bagi pengadilan untuk menentukan ada tidaknya kewenangan pengadilan untuk mengklaim yuridiksi atas seorang tergugat adalah asas actor sequitur forum rei.

Dalam pemahaman Negara-negara yang menganut civil law, atas dasar asas forum rei dapat dengan mudah diterapkan pengadilan untuk membentuk real connection /kaitan nyata antara forum dan tergugat, atas dasar itu dapat diklaim sebagai kewenangan yuridiksi umum (general jurisdiction) atas tergugat. Pada Negara-negara common law, hal serupa dipahami melalui konsep yuridiksi in personam atas dasar asumsi pertautan personal / pribadi dengan forum.

(a) Persoalan utama perkara-perkara yang bersifat transnasional (HPI) adalah terletak pada adanya perbedaan-perbedaan prinsip atau aturan antara tergugat dengan forum. yang digunakan oleh berbagai sistim hukum untuk menentukan adanya “pertautan” atau connection antara forum dan Tergugat.

Dalam system common law, Kewenangan Yurisdiksi juga dapat menggunakan cara pemanggilan yang sah terhadap tergugat yang secara fisik hadir di wilayah pengadilan. Dalam kasus-kaus HPI di Amerika Serikat digunakan ukuran minimum contact antara forum dengan tergugat, yang baru ada jika memenuhi criteria umum “kewajaran dan keadilan” dalam arti traditional (traditional notion of fair play and substantial justice).

(b)Persoalannya standar umum ini tidak dengan sendirinya dianggap sebagai criteria yang jelas bagi pengadilan, karena berbagai penafsiran dan upaya pembatasan terhadap pengertian “fair play and substantial justice” itu terus berkembang pada setiap perkara yang dihadapi.

Praktek pengadilan Amerika Serikat, dalam melakukan interpretasi “minimum contract” meggunakan ukuran tambahan dengan adanya fakta-fakta yang menunjukkan:
1. Kesinambungan dan pola yang teratur dari tergugat dalam menjalankan urusan-urusannya di wilayah Negara forum (continuity and systematic way of conducting business in the forum state);

2. Gugatan harus terbit dari dan berkaitan dengan aktivitas pihak tergugat di wilayah forum (claims have to arise out of and related to the defendants activities in the forum state);

3. Dalam perkara-perkara kontrak jual beli international, seorang yang memasarkan produknya di AS, meski tanpa kehadirannya, dianggap wajar dan adil telah memiliki “minimum contact” dengan As, karenanya pengadilan AS berwenang mengklaim yuridiksi in personam terhadap tergugat;

4. Pertautan antara tergugat dengan Negara forum juga bisa terbentuk atas dasar tindak-tanduk tergugat yang dengan sengaja diarahkan kenegara forum (purposefully directed toward the forum state), pemasaran produk di negar tertentu dapat melahirkan yurisdiksi pengadilan Negara yang bersangkutan.

(c) Meski penggunaan prinsip “fair play” dan “substantial justice” nampak sangat baik, namun kemungkinan penafsiran secara subjectif terhadap prinsip itu dalam pergaulan international dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Seorang calon penggugat (plaintiff) tidak memiliki kepastian apaka forum tempat diajukannya gugatan mempunyai yuridiksi atau tidak untuk memeriksa gugatan itu.

Tradisi hukum Eropa Continental (civil law) khususnya dilingkungan hukum Masyarakat Eropa (EC), dengan berlakunya Council Regulation on Jurisdiction and the Recognition andEmforcement of Judgment in Civil and Commercial Matters telah terjadi keseragaman yang memberikan kepastian hukum, yang secara umum memberlakukan prinsip forum rei dengan ukuran domicilie, bukan kewarganegaraan (nationality).

Seorang tergugat yang berdomisili di suatu Negara anggota, apapun kewarganegaraannya, dapat diadili oleh pengadilan dimana ia berdomisili, demikian juga tergugat yang bukan warga Negara tempat ia berdomisili, akan tunduk pada aturan yurisdiksi yang berlaku atas WN dari Negara forum.

(d) Persoalannya adalah perbedaan pendapat tentang dasar penentuan domicilie tergugat (tempat kediaman tetap/sehari-hari) yang mungkin berbeda-beda pengertiannya dari satu Negara ke Negara lain.
- dapatkah T seorang WN X yang berkediaman tetap di Negara Y, menolak yurisdiksi pengadilan Y atas dasar kenyataan bahwa hukum acara Negara Y menetapkan tempat kediaman seseorang tergugat atas dasar prinsip kewarganegaraan tergugat?
- apakah pengadilan sebuah Negara Eropa (anggota EC) dapat mengklaim yurisdiksi in personam atas seorang tergugat yang tidak berdomisili di Eropa, tetapi melaksanakan bisnis tertentu ke dalam wilayah Eropa?
- apakah pengadilan Indonesia dapat menerapkan asas forum rei terhadap T tergugat WNI yang berkediaman tetap di Belanda ? atau
- Apakah T WNI dapat menolak yurisdiksi pengadilan Indonesia, karena berdomisili di Eropa, yang berdasarkan Council Regulation hanya pengadilan di Negara-negara EC saja yang berwenang menklaim yuridiksi terhadap dirinya.

D. ELEMEN-ELEMEN YURISDIKSI FORUM DALAM HPI DAN KASUS-KASUS

Prinsip Konstitutif untuk Klaim Yurisdiksi

Dalam perkembangan HPI modern yang diterapkan pengadilan suatu Negara dalam melaksanakan yurisdiksi atas sebuah perkara HPI, tidak lagi didasarkan pada prinsip kedaulatan territorial atas orang dan benda yang berada di wilayah Negara forum. Prinsip yang semakin banyak digunakan secara international adalah pertimbangan adanya pertautan minimum dan prinsip kewajaran yang mendasar (minimum contacts and fundamental fairness principle – MCFF principle).

Prinsip MCFF ini dikembangkan untuk membatasi pihak penggugat dalam mengajukan perkara di pengadilan tempat ia berkediaman tetap, pembatasan ini dimaksudkan untuk mencegah pelanggaran atas hak-hak pihak tergugat untuk memperoleh perlakuan hukum yang wajar. Karenanya prinsip MCFF ini dianggap sebagai “batas luar” bagi pengadilan melaksanakan yurisdiksinya. Artinya pengadilan hanya dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila terdapat pertautan minimum antara tergugat dengan Negara forum sedemikian rupa, sehingga tergugat akan menerima perlakuan yang wajar dan adil.

Contoh Kasus
1. Kasus Mc Gee Vs International Life Insurance Co (1957);

- Tergugat, perusahaan asuransi Negara X, yang menawarkan dan menutup sebuah perjanjian asuransi kepada Penggugat, WN Y. Perjanjian ini merupakan satu-satunya perjanjian yang dijual tergugat di Negara Y. Setelah Penggugat meninggal dunia, Tergugat menolak untuk membayar klaim uang asuransi, dan pihak Tertanggung (beneficiary/ahli waris penggugat) menggugat Tergugat di Negara Y, berdasarkan peraturan Long Arm Statute yang berlaku di Negara Y. Tergugat dipanggil melalui surat dan akhirnya hadir di Negara Y untuk melawan dan membantah kewenangan yurisdiksi Negara Y.

- Negara Y dianggap dapat mengklaim yurisdiksi atas pihak tergugat (asing) itu dengan dasar pikiran:
a. Tergugat telah mengajukan penawaran untuk menutup kontrak asuransi kepada seorang warga Negara Y;
b. Negara Y memiliki kepentingan untuk melindungi warga Negara Y dari kegagalan perusahan asuransi untuk membayar klaim asuransinya.
- Berdasarkan Long Arm Statute Negara Y, maka WN Y dapat menggugat perusahaan asuransi asing di depan forum Negara Y. DKL dua elemen diatas dapat dianggap memberikan dasar hukum yang cukup bagi pengadilan Y untuk mengklaim yurisdiksi.

2. Kasus Perkins Vs Benguet Consolidated Mining Co. (1952)

Tergugat, sebuah perusahaan Filipina yang bergerak dibidang pertambangan emas dan perak di Filipina. Sejak pendudukan tentara jepang di Filipina, seluruh operasi pertambangan dihentikan, presiden direktur yang sekaligus pemegang saham terbesar, kembali ke Negara asalnya Ohio di AS. Selama ia berada di Ohio, tergugat menjalankan erusahaannya berkenaan dengan upaya pengerolehan kembali asset-aset perusahan yang ada di Filipina.

Penggugat, seorang warga Ohio mengajukan gugatan terhadap tergugat di Ohio untuk mengklaim haknya atas pembayaran deviden yang sudah jatuh tempo untuknya sebagai pemegang saham di perusahaan tergugat.

Gugatan sama sekaali tidak berkaitan dengan aktivitas perusahaan tergugat di Ohio, namun pengadilan Ohio tetap menerima gugatan, dengan anggapan bahwa sebagian besar aktivitas perusahaan tergugat sejak Perang Dunia ke II sampai diajukan gugatan, dilakukan di Ohio.

Berdasar fakta ini, pengadilan Ohio memiliki “sufficient contact” dengan perusahaan tergugat dan penerimaan yurisdiksi atas gugatan yang berkaitan dengan aktivitas tergugat yang tidak berkaitan sama sekali dengan Ohio, dianggap tidak melanggar pengertian tradisional mengenai keadilan dan fair play (reasonable and just)

Sejak tahun 1977, Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan tegas mengesampingkan dan menolak “kekuasaan atas orang dan benda” sebagai dasar pengadilan menentukan yurisdiksi atas tergugat asing, dan menetapkan dalam semua perkara pelaksanan yurisdiksi harus diwujudkan atas dasardan diuji lewat pemenuhan prinsip “minimum contacts and fundamental fairness” (Perkara SHAFFER VS HEITNER 1977).

Batas-batas pelaksanaan Yurisdiksi

Mahkamah Agung RI pernah menegaskan batas-batas terluar untuk mengklaim yurisdiksi:
1. Penekanan harus diletakkan pada tergugat dan pertautan (contacts) antara tergugat/transaksi yang melibatkan tergugat dengan forum;

2. Pengadilan tidak boleh mendasarkan pada factor penggugat memiliki connection dengan forum;

3. Alasan forum akan menyulitkan tergugat (asing) atau tidak, hukum internal forum (lex fori) yang akan diberlakukan sebagai lex causae, tidak lagi dianggap sebagai dasar pertimbangan klaim yurisdiksi tergugat asing;

4. Sebaliknya, selama terdapat minimum contacts antara tergugat /transaksi dengan forum, maka tidak adanya kaitan antara penggugat dan forum atau tidak adanya kepentingan forum melindungi penggugat;

5. Prinsip terpenting menentukan batas luar klaim yurisdiksi adalah prinsip penundukan secara sadar pihak tergugat (purposeful availment of the dependant), artinya harus dapat dibuktikan:
a.Tergugat dengan sadar menempatkan dirinya dalam posisi melaksanakan aktivitasnya di wilayah forum dan karenanya memperoleh manfaat dan perlindungan dari lex fori;
b.Tergugat dengan sadar mengarahkan kegiatannya kepada orang yang berdomisili di wilayah forum;
c.Jika salah satu unsure ini dipenuhi, adalah “wajar dan adil” untuk mengadili tergugat dalam perkara di forum yang bersangkutan;

Contoh kasus Purposeful Availment
Kasus posisi:
- Ketika penggugat berkediaman di New York (NY) membeli sebuah mobil VW dari tergugat 1 dealer mobil VW di NY. Tahun berikutnya penggugat sedang dalam perjalanan menuju NB Arizona, mengalami kecelakaan di NB Oklahoma, penggugat mengalami cedera serius;
- Penggugat mengajukan gugatan “product liability” tehadap tergugat 1 dan tergugat 2 (Distributor regional NY, New jersey & Conectitut), dimana gugatan diajukan di Oklahoma;
- Yurisdiksi pengadilan Oklahoma ditolak oleh tergugat 1 dan 2, namun penolakan itu dibantah oleh pengadilan Oklahoma dengan sikap mempunyai klaim yurisduksi atas perkara;
- Ketika para tergugat mengajukan Kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan Oklahoma dengan alasan klaim yurisdiksi pengadilan Oklahoma dianggap melanggar prinsip due process;

Pertimbangan / pola berpikir Mahkamah Agung AS

- dasar kewewngan yurisdiksi yang digunakan Penggugat (pengadilan Oklahoma) adalah keadaan-keadaan yang sangat kebetulan (fortuitous circumstances) yaitu mengalami kecelakaan di NB Oklahoma;
- Supreme Court (MA-AS) berpandangan bahwa pihak yang mungkin menjadi tergugat, harus dapat memperkirakan prilakunya dengan memmperoleh kepastian minimum tentang dimana prilakunya dapat mengakibatkan gugatan hukum;
- Para Tergugat sama sekali tidak memiliki kaitan (contacts) dengan Oklahoma, sedemikian rupa sehingga dapat menduga mereka dapat digugat disana. Kenyataan bahwa mobil yang mereka jual dapat mengalami kecelakaan di mana saja (termasuk Oklahoma) tidak dapat dianggap cukup dasar untuk menganggap adanya “connection” antara tergugat dengan Oklahoma. Demikian juga jaringan kerja yang bersifat global untuk memasarkan dan memberi pelayanan pemeliharaan mobil, belum cukup dianggap sebagai dasar untuk klaim yurisdiksi;
- Karena para tergugat sendiri tidak memiliki kontak apapun dan tidak melakukan aktivitas bisnis apapun yang secara langsung berkaitan dengan Oklahoma, maka secara konstitusional tidak dapat ditundukkan untuk berperkara di Oklahoma, walaupun kecelakaan terjadi di Oklahoma;
- Putusan MA, Pengadilan Oklahoma tidak memeiliki kewenangan yurisdiksional untuk mengadili para tergugat.


E. TREND PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNATIONALAsas klasik klaim yurisdiksi dalam suatu perkara HPI adalah asas actor sequitur forum rei ( penggugat mengikuti forum dari tempat tergugat). Dalam perkembangannya asas ini memiliki makna: tergugat dapat digugat di Negara dimana ia berdomisili, atau di Negara dimana tergugat dapat dikenakan panggilan untuk diadili, meski kehadirannya di Negara itu hanya bersifat sementara.

Di AS, sejak tahun 1878 (Kasus Pennoyer Vs Neff) diakui bahwa klaim yurisdiksi oleh pengadilan suatu negara hanya sah apabila tidak melanggar due process yang ada di Konstitusi AS. Adanya panggilan resmi atas seorang asing yang hadir dan bedara di wilayah Negara forum dianggap sebagai dasar yang sah klaim yurisdiksi karena memenuhi syarat kekuasaan fisik Negara forum atas pihak tergugat yang berada di wilayah forum (the concept of physical power)

Tahun 1945, Mahkamah Agung AS melalui perkara International shoe Vs Washington, konsep physical power digeser oleh pertimbangan-pertimbangan lain yaitu, untuk menentukan asas due process ditentukan oleh hakikat dan kualitas dari aktivitas dalam kaitannya dengan penegakkan hukum yang teratur dan adil. Berdasarkan itu MA AS meanggap klaim yurisdiksi umum (general jurisdiction) atas tergugat asing:
1. Konsep penguasaan fisik harus diganti dengan ertimbangan kewajaran (consideration of reasonableness and fair play) serta keadilan yang mendasar (substantial justice);
2. Pokok perkara / hubungan antara dasar gugatan dengan aktivitas tergugat di Negara forum harus menjadi pertimbangan penting untuk menentukan forum memiliki klaim yurisdiksi;
Kriteria ini dikenal dengan sebutan : Standar International Shoe.

Tahun 1955, dasar klaim yurisdiksi dikembangkan konsep yurisdiksi khusus (specipic jurisdiction), yaitu yurisdiksi atas dasar aktivitas tergugat yang menimbulkan tanggung jawab (liability creating activity) atau berakibat tertentu di Negara forum (Lihat Kasus MC Gee Vs International Life Insurance Co- 1957).

Tahun 1958, Kasus Hanson Vs Denckla, ditetapkan aktivitas tergugat harus merupakan tindakan dimana tergugat dengan sadar dan sengaja menundukkan diri di wilayah forum karena memperoleh manfaat dan perlindungan dari lex fori (prinsip purposeful availment).

Tahun 1977, melalui perkara Shaffer vs Heitner, MA-AS berpendapat bahwa kewenangan pengadilan untuk melaksanakan in rem jurisdiction (dasar klaim adanya benda-benda milik tergugat di Negara asing yang berkaitan dengan perkara) adalah sama dengan klaim yurisdiksi in personam , maka dasar yurisdiksinya adalah “kepentingan dari orang-orang atas benda yang berada di Negara forum”, yang digunakan ukuran “minimum contacts” antara pokok perkara dengan benda milik tergugat.

Di Belanda, klaim yurisdiksi atas sebuah perkara dalam perkembangan praktek peradilan didasarkan ada asas-asas yang sebagian besar juga dikenal dalam Konvensi Brussels atau EC Council Regulation on Jurisdiction and the Recognition and Enforcement of Judgments in Civil and Commercial Matters (2001), yang selengkapnya meliputi:

1. Asas Forum Rei
Asas tempat forum berada sama dengan asas actor sequitur forum rei, yang merupakan dasar utama klaim yuridiksi atas seorang tergugat yang berdomicilie sehari-hari di wilayah hukum Negara forum;

2.Asas Forum Solutionis Contractus
yaitu asas dasar penetapan yurisdiksi bagi forum dari tempat dimana suatu perikatan dianggap telah dilaksanakan atau seharusnya dilaksanakan;

3. Asas Pengadilan Tempat Pihak yang Berkedudukan Lebih Lemah
yaitu asas yang memberikan kewenangan yurisdiksional pd pengadilan di tempat pihak yang dianggap berkedudukan lemah dalam transaksi hukum, khususnya dalam memberikan perlindungan pada konsumen, atau buruh dalam transaksi hubungan kerja;

4. Pengadilan yang Dipilih oleh Para Pihak
yaitu asas yang merupakan manifestasi “kebebasan berkontrak” dimana para pihak menentukan sendiri pengadilan mana yang dianggap memiliki yurisdiksi eksklusif untuk menyelesaikan perselisihan yang timul dari hubungan hukum mereka.

5. Pemunculan Secara Sukarela (voluntary appearance)
asas yang menetapkan dalam hal tergugat secara sukarela hadir di sebuah forum pengadilan asing untuk membela dirinya dalam pokok perkara (bukan sekedar menyatakan forum asing tidak kompeten), forum asing ini akan dianggap memiliki yurisdiksi atas tergugat. Asas ini hanya dapat digunakan dalam hal forum pengadilan Belanda tidak memiliki yurisdiksi eksklusif atas perkara;

6. Asas Forum Rei Sitae
asas kompetensi yurisdiksi pengadilan yang menyangkut hak kebendaan tetap (immovables) atas dasar letak benda di wilayah forum;


7. Yurisdiksi atas Kantor Cabang, Agensi, dan Badan-badan Lain
Yaitu asas yang dianggap ada pada pengadilan asing tempat dimana perkara timbul dari beroperasinya cabang, agen atau badan sejenis terletak;

8. Asas Forum Delicti
asas penentuan yurisdiksi pengadilan dalam perkara-perkara perbuatan melawan hukum (PMH-tort/onrechtmatige daad) berdasarkan tempat perbuatan dilakukan atau tempat dimana kerugian (injury) akibat PMH itu timbul;

9. Asas Forum Connexitatis
yaitu asas penetapan yurisdiksi pengadilan yang telah memiliki yurisdiksi untuk memeriksa pokok perkara dan juga memeriksa gugat balik (counter claim) atau gugatan pihak ke 3 (third party proceedings). Asas ini hanya dapat digunakan apabila tidak ada forum lain yang memiliki yurisdiksi eksklusif atau yurisdiksi pilihan para pihak;

10. Asas Forum Arresti
Yaitu asas yang dalam perkara yang menyangkut muatan barang atau kapal yang ditahan untuk jaminan utang memberikan kewenangan yurisdiksi pada pengadilan di tempat kapal atau muatan kapal ditahan.

PRINCIPLE OF TRANSNATIONAL CIVIL PROCEDURE (PTCP)- 2004

Asas-asas hukum acara perdata transnasional ini merupakan hasil kolaborasi antara UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law) dan The American Law Institute, yang tidak hanya mengatur persoalan yurisdiksi ekstrateritorial, tetapi juga mengatur bidang hukum acara perdata secara umum.

PTCP ini merupakan upaya harmonisasi asas dan aturan hukum acara perdata dalam penyelesaian perkara-perkara perdagangan transnational. Secara sadar juga dimaksudkan sebagai upaya meminimalisirperbedaan-perbedaan yang selama ini ada antara prinsip-prinsip dan aturan hukum acara dalam tradisi Anglosaxon (Common Law) dengan tradisi Eropa Kontinental (Civil Law).


Asas-asas Yurisdiksi Menurut PTCP
Dalam prinsip kedua PTCP (tentang jurisdiction over Parties) ditetapkan bahwa yurisdiksi pengadilan atas salah satu pihak dalam perkara dapat dilaksanakan (Principle 2.1):
1. atas kesepakatan para pihak yang berperkara untuk mengajukan
sengketa mereka ke depan pengadilan yang bersangkutan;
2. apabila terdapat kaitan yang substansial (substantial connection)
antara Negara forum dan para pihak yang bersengketa atau transaksi
atau peristiwa yang menjadi pokok sengketa;

Yurisdiksi juga dapat dilaksanakan apabila tidak ada forum lain yang pantas untuk mengadili perkara (forum necessitates) atas dasar (Principle 2.2):
1. kehadiran (presence) atau kewarganegaraan (nationality) dari pihak
tergugat di Negara forum;
2. kehadiran benda-benda milik tergugat di wilayah Negara forum tanpa
mempedulikan ada tidaknya kaitan antara perkara dan benda-benda
tersebut (quasi in rem). Namun kewenangan forum hanya terbatas
pada benda-benda tersebut atau nilai ekonominya;

Principle 2.4:
Forum umumnya harus menolak untuk mengklaim yurisdiksi atas perkara apabila para pihak telah terlebih dahulu bersepakat bahwa suatu forum pengadilan lain yang akan memiliki kewenangan yurisdiksional secara Eksklusif.
Principle 2.5:
Forum dapat menolak yurisdiksi atau menghentikan proses pemeriksaan perkara apabila terbukti bahwa forum ternyata tidak layak (inappropriate) untuk mengadili perkara jika dibandingkan dengan forum lain yang juga dapat mengklaim yurisdiksi.

Principle 2.6
Forum harus menolak yurisdiksi atau menghentikan pemeriksaan perkara apabila pemeriksaan perkara tenyata sedang berjalan di pengadilan lain yang memiliki kewenangan yurisdiksional, keculai jika terdapat petunjuk bahwa proses pengadilan di depan forum lain irtu tidak berlangsung secara adil, efektif dan cepat.