Kamis, 15 Oktober 2015

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL : Indonesia dan Traktat Kemitraan Trans Pasifik

Indonesia dan Traktat Kemitraan Trans-Pasifik



Sebanyak  12 negara di lingkar Pasifik baru saja menuntaskan perundingan Traktat Kemitraan Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership. 

Traktat ini merupakan suatu kerangka hukum bagi kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi. Kerja sama ini merupakan mega trade bloc yang mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia (28,1 triliun dollar AS produk domestik bruto gabungan) dengan mengikutsertakan lebih dari 792 juta penduduk  yang tersebar di Amerika Serikat, Australia, Brunei, Cile, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Meksiko, Kanada, dan Selandia Baru.

 Meskipun Trans-Pacific Partnership (TPP) belum secara resmi ditandatangani,  wacana tentang keikutsertaan Indonesia dalam kerja sama itu cenderung semakin mengemuka akhir-akhir ini. Wacana tersebut perlu disikapi secara hati-hati.

Bergabungnya Indonesia ke dalam TPP justru dikhawatirkan dapat menghalangi upaya pemerintahan Presiden Jokowi dalam mewujudkan kemandirian ekonomi nasional sesuai Nawacita.

 Oleh karena itu, sudah sepatutnya keputusan bergabung ke TPP didasarkan pertimbangan yang sangat mendalam dengan memerhatikan aspek politik, ekonomi, dan hukum. Semua dimensi teknis ketiga aspek perlu dikaji kembali secara kritis.
 
Aspek politik

 Ruang lingkup dan implikasi TPP sangat luas serta melampaui persoalan perluasan akses pasar. Selain berkaitan dengan perdagangan dan investasi, TPP juga mengatur persoalan lingkungan hidup, perburuhan dan persoalan-persoalan lain yang selama ini sepenuhnya merupakan urusan domestik suatu negara.

 Selain itu, proses perundingan TPP juga sangat didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat. Proses tersebut terpisah dan bukan merupakan bagian dari upaya penguatan Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA (ASEAN Economic Communityyang saat ini menjadi prioritas utama diplomasi ekonomi Indonesia.

 Berbeda dengan proses Regional Comprehensive Economic Partnership yang melibatkan semua negara ASEAN dan semua negara mitra ASEAN, TPP secara sengaja tidak mengikutsertakan Tiongkok yang merupakan pasar terbesar di Asia Pasifik. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Presiden Obama yang menekankan bahwa AS tidak dapat membiarkan Tiongkok menentukan "aturan" yang berlaku dalam perekonomian global. Melalui TPP, Amerika berharap dapat menyusun "aturan-aturan" itu.

 Aspek politis itu perlu dikaji sesuai rencana strategis diplomasi ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi. Ramifikasi politik di dalam negeri dan pengaruhnya terhadap upaya mewujudkan MEA yang mandiri juga perlu dapat perhatian khusus.
 
Aspek ekonomi

 Pembentukan TPP tak serta merta menjadikan perdagangan di kawasan Asia Pasifik akan menjadi lebih "bebas". Justru sebaliknya, TPP telah menerapkan aturan tentang akses pasar yang lebih kompleks dan sulit untuk dipenuhi oleh produk dan jasa dari Indonesia. Akibatnya, berdasarkan pada pengalaman implementasi perjanjian perdagangan bebas sebelumnya, banyak pihak justru mengkhawatirkan keikutsertaan Indonesia pada TPP hanya akan menjadikan Indonesia "pasar" bagi produk dan jasa dari negara lain.

 Di samping itu, sebagian besar komitmen dalam TPP jauh lebih eksesif dibandingkan dengan komitmen dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ataupun perjanjian perdagangan bebas lain. Hak negara untuk mengambil kebijakan dalam rangka melindungi kepentingan nasional yang strategis sebagaimana diberikan oleh WTO atau perjanjian perdagangan bebas lainnya (misalnya kebijakan mengenai kebijakan perpajakan dan pengaturan khusus tentang barang-barang yang sensitif) dihapuskan.
 TPP juga mewajibkan liberalisasi di sektor pengadaan pemerintah (government procurement). Bagi negara-negara berkembang, liberalisasi di sektor ini merupakan isu yang sangat sensitif. Komitmen ini jelas bertentangan dengan posisi Indonesia yang melindungi pengusaha nasional melalui pembatasan keikutsertaan perusahaan asing dalam proses tender pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.

 Ketentuan mengenai BUMN juga tak sejalan dengan kepentingan nasional. TPP melarang negara memberikan keistimewaan atau insentif kepada BUMN. Ketentuan itu tentunya akan menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan usaha BUMN di Indonesia.

 Di bidang investasi, berbeda dengan semangat peninjauan kembali perjanjian investasi yang saat ini sedang dilakukan pemerintah, TPP menekankan pada pemberian hak yang lebih dan mengedepankan kepentingan investor asing daripada memerhatikan hak negara untuk menegakkan kedaulatan dan melindungi kepentingan nasionalnya.
 Selanjutnya, Indonesia kiranya juga perlu menyikapi secara hati-hati semua ketentuan tentang hak kekayaan intelektual (HKI) yang merugikan kepentingan negara-negara berkembang. TPP mengutamakan pemberian hak yang lebih kepada perusahaan multinasional yang secara faktual menguasai HKI. Hal ini dikhawatirkan akan memengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah khusus guna kepentingan nasionalnya, misalnya penyediaan  obat-obat murah bagi rakyat serta memfasilitasi proses alih teknologi.
 
Aspek hukum

 TPP menerapkan standar kewajiban hukum yang sangat tinggi. Konsekuensinya Indonesia akan "dipaksa" melakukan perubahan peraturan perundangan nasional di berbagai bidang untuk disesuaikan dengan standar TPP (antara lain di sektor keuangan, lingkungan hidup, perburuhan, HKI, kebebasan penggunaan internet, dan berbagai sektor lain).  Kewajiban untuk melakukan perubahan hukum nasional tersebut tentunya dapat memengaruhi dan bahkan bertentangan dengan strategi pembangunan hukum nasional.

 Isu hukum lainnya adalah persoalan investor-state dispute settlement (ISDS). Indonesia tak dapat menerima ketentuan ISDS yang memberi hak kepada investor asing untuk secara langsung menggugat pemerintah ke arbitrase internasional tanpa persetujuan sebelumnya dari pemerintah. Ketentuan ini tak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Dengan demikian, bergabung dengan TPP bukan merupakan kepentingan nasional yang harus segera diwujudkan. TPP tidak memberikan kebebasan yang lebih besar bagi barang dan jasa Indonesia untuk memasuki pasar di negara-negara TPP. Ekspor barang dan jasa Indonesia justru akan menghadapi aturan tentang akses pasar yang lebih kompleks dan sulit untuk dipenuhi. Di samping itu, selain TPP lebih memfokuskan pada kepentingan perusahaan multinasional, kerja sama regional itu juga menetapkan komitmen liberalisasi dan standar kewajiban hukum yang cukup intrusif  terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
 
Abdulkadir Jailani
Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri RI

Jumat, 18 September 2015

Kasus : Hukum Perdata Internasional

 
Contoh Kasus : Hukum Perdata International
 
Rabu, 16 September 2015
MA Tolak Kasasi Perkara Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris
Setelah kandas di tingkat banding, upaya hukum Nine AM juga kandas di tingkat kasasi.
MA Tolak Kasasi Perkara Gugatan Kontrak Berbahasa Inggris
Gedung MA. Foto: RES
Jalan panjang ‘perseteruan’ antara Nine AM Ltd dengan PT Bangun Karya Pratama (BKP) akhirnya bermuara ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana dikutip dari laman resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, informasi putusan menyebutkan bahwa majelis kasasi menolak permohonan kasasi Nine AM. Namun sayangnya, dalam laman tersebut belum terdapat dokumen putusan secara lengkap.
Majelis hakim yang terdiri dari Hamdi, Sudrajad Dimyati dan Ahmad Kamil itu memutus perkara pada tanggal 31 Agustus 2015 lalu. Putusan kasasi ini berarti memperkuat putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Nomor: 48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014.
Untuk diketahui, dalam putusannya, Majelis Hakim PT DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) No. 451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT tanggal 20 Juni 2013 silam. Dalam putusannya, PN Jakbar mengabulkan gugatan BKP.
Gugatan ini bermula dari sebuah perjanjian, Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Perjanjian tersebut mengatur BKP memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah AS$4,422 juta. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia atas benda tertanggal 27 April 2010.
Benda yang dijaminkan adalah enam unit Truk Caterpillar Model 775F Off Highway. Mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman tersebut adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar AS$148,5 ribu per bulan dan bunga akhir AS1,8 juta yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran pinjaman.
Setelah berjalan selama dua tahun, BKP mengajukan gugatan karena menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil. Perjanjian tersebut dinilai melanggar Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa). Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia.
Padahal, Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa tersebut telah mengatur dengan tegas bahwa bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Dalam gugatan, BKP meminta pengadilan untuk menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Gugatan ini dikabulkan majelis hakim yang dalam putusannya menyatakan perjanjian tersebut memang bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. Beleid tersebut dengan tegas mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam sebuah perjanjian.
Selain itu, majelis juga memerintahkan BKP untuk mengembalikan semua pinjaman yang telah diberikan Nine AM. Karena telah membayar AS$3.506.460 ditambah deposit AS$800 ribu, majelis meminta BKP mengembalikan sisa uang Nine AM sebanyak AS$115.540.
Atas putusan ini, Nine AM tidak puas dan bersikukuh berpandangan UU Bahasa tidak mengatur sanksi berupa pembatalan atas suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia. Pihak Nine AM pun terus melakukan upaya hukum banding dan kasasi.