Indonesia dan Traktat Kemitraan Trans-Pasifik
Abdulkadir Jailani
Kompas Cetak |
Sebanyak 12 negara di lingkar
Pasifik baru saja menuntaskan perundingan Traktat Kemitraan
Trans-Pasifik atau Trans-Pacific Partnership.
Traktat ini merupakan suatu kerangka hukum bagi kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi. Kerja sama ini merupakan mega trade bloc yang mewakili 40 persen kekuatan ekonomi dunia (28,1 triliun dollar AS produk domestik bruto gabungan) dengan mengikutsertakan lebih dari 792 juta penduduk yang tersebar di Amerika Serikat, Australia, Brunei, Cile, Jepang, Malaysia, Peru, Singapura, Vietnam, Meksiko, Kanada, dan Selandia Baru.
Meskipun Trans-Pacific Partnership (TPP) belum secara resmi ditandatangani, wacana tentang keikutsertaan Indonesia dalam kerja sama itu cenderung semakin mengemuka akhir-akhir ini. Wacana tersebut perlu disikapi secara hati-hati.
Bergabungnya Indonesia ke dalam TPP justru dikhawatirkan dapat menghalangi upaya pemerintahan Presiden Jokowi dalam mewujudkan kemandirian ekonomi nasional sesuai Nawacita.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya keputusan bergabung ke TPP didasarkan pertimbangan yang sangat mendalam dengan memerhatikan aspek politik, ekonomi, dan hukum. Semua dimensi teknis ketiga aspek perlu dikaji kembali secara kritis.
Aspek politik
Ruang lingkup dan implikasi TPP sangat luas serta melampaui persoalan perluasan akses pasar. Selain berkaitan dengan perdagangan dan investasi, TPP juga mengatur persoalan lingkungan hidup, perburuhan dan persoalan-persoalan lain yang selama ini sepenuhnya merupakan urusan domestik suatu negara.
Selain itu, proses perundingan TPP juga sangat didominasi oleh kepentingan Amerika Serikat. Proses tersebut terpisah dan bukan merupakan bagian dari upaya penguatan Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA (ASEAN Economic Communityyang saat ini menjadi prioritas utama diplomasi ekonomi Indonesia.
Berbeda dengan proses Regional Comprehensive Economic Partnership yang melibatkan semua negara ASEAN dan semua negara mitra ASEAN, TPP secara sengaja tidak mengikutsertakan Tiongkok yang merupakan pasar terbesar di Asia Pasifik. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Presiden Obama yang menekankan bahwa AS tidak dapat membiarkan Tiongkok menentukan "aturan" yang berlaku dalam perekonomian global. Melalui TPP, Amerika berharap dapat menyusun "aturan-aturan" itu.
Aspek politis itu perlu dikaji sesuai rencana strategis diplomasi ekonomi pemerintahan Presiden Jokowi. Ramifikasi politik di dalam negeri dan pengaruhnya terhadap upaya mewujudkan MEA yang mandiri juga perlu dapat perhatian khusus.
Aspek ekonomi
Pembentukan TPP tak serta merta menjadikan perdagangan di kawasan Asia Pasifik akan menjadi lebih "bebas". Justru sebaliknya, TPP telah menerapkan aturan tentang akses pasar yang lebih kompleks dan sulit untuk dipenuhi oleh produk dan jasa dari Indonesia. Akibatnya, berdasarkan pada pengalaman implementasi perjanjian perdagangan bebas sebelumnya, banyak pihak justru mengkhawatirkan keikutsertaan Indonesia pada TPP hanya akan menjadikan Indonesia "pasar" bagi produk dan jasa dari negara lain.
Di samping itu, sebagian besar komitmen dalam TPP jauh lebih eksesif dibandingkan dengan komitmen dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ataupun perjanjian perdagangan bebas lain. Hak negara untuk mengambil kebijakan dalam rangka melindungi kepentingan nasional yang strategis sebagaimana diberikan oleh WTO atau perjanjian perdagangan bebas lainnya (misalnya kebijakan mengenai kebijakan perpajakan dan pengaturan khusus tentang barang-barang yang sensitif) dihapuskan.
TPP juga mewajibkan liberalisasi di sektor pengadaan pemerintah (government procurement). Bagi negara-negara berkembang, liberalisasi di sektor ini merupakan isu yang sangat sensitif. Komitmen ini jelas bertentangan dengan posisi Indonesia yang melindungi pengusaha nasional melalui pembatasan keikutsertaan perusahaan asing dalam proses tender pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.
Ketentuan mengenai BUMN juga tak sejalan dengan kepentingan nasional. TPP melarang negara memberikan keistimewaan atau insentif kepada BUMN. Ketentuan itu tentunya akan menimbulkan dampak negatif yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan usaha BUMN di Indonesia.
Di bidang investasi, berbeda dengan semangat peninjauan kembali perjanjian investasi yang saat ini sedang dilakukan pemerintah, TPP menekankan pada pemberian hak yang lebih dan mengedepankan kepentingan investor asing daripada memerhatikan hak negara untuk menegakkan kedaulatan dan melindungi kepentingan nasionalnya.
Selanjutnya, Indonesia kiranya juga perlu menyikapi secara hati-hati semua ketentuan tentang hak kekayaan intelektual (HKI) yang merugikan kepentingan negara-negara berkembang. TPP mengutamakan pemberian hak yang lebih kepada perusahaan multinasional yang secara faktual menguasai HKI. Hal ini dikhawatirkan akan memengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah khusus guna kepentingan nasionalnya, misalnya penyediaan obat-obat murah bagi rakyat serta memfasilitasi proses alih teknologi.
Aspek hukum
TPP menerapkan standar kewajiban hukum yang sangat tinggi. Konsekuensinya Indonesia akan "dipaksa" melakukan perubahan peraturan perundangan nasional di berbagai bidang untuk disesuaikan dengan standar TPP (antara lain di sektor keuangan, lingkungan hidup, perburuhan, HKI, kebebasan penggunaan internet, dan berbagai sektor lain). Kewajiban untuk melakukan perubahan hukum nasional tersebut tentunya dapat memengaruhi dan bahkan bertentangan dengan strategi pembangunan hukum nasional.
Isu hukum lainnya adalah persoalan investor-state dispute settlement (ISDS). Indonesia tak dapat menerima ketentuan ISDS yang memberi hak kepada investor asing untuk secara langsung menggugat pemerintah ke arbitrase internasional tanpa persetujuan sebelumnya dari pemerintah. Ketentuan ini tak sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Dengan demikian, bergabung dengan TPP bukan merupakan kepentingan nasional yang harus segera diwujudkan. TPP tidak memberikan kebebasan yang lebih besar bagi barang dan jasa Indonesia untuk memasuki pasar di negara-negara TPP. Ekspor barang dan jasa Indonesia justru akan menghadapi aturan tentang akses pasar yang lebih kompleks dan sulit untuk dipenuhi. Di samping itu, selain TPP lebih memfokuskan pada kepentingan perusahaan multinasional, kerja sama regional itu juga menetapkan komitmen liberalisasi dan standar kewajiban hukum yang cukup intrusif terhadap kedaulatan ekonomi nasional.
Abdulkadir Jailani
Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Kementerian Luar Negeri RI