Selasa, 18 Desember 2012
UU Arbitrase Tak Mengenal Upaya Hukum PK
Menyangkut eksekusi putusan arbitrase International Chamber of Commerce di Indonesia.
RIMBA SUPRIYATNA
Gedung International Chamber of Commerce. Foto: http://www.treehugger.com
Upaya hukum luar biasa PT Pertamina EP dan PT Pertamina (Persero) untuk mempersoalkan putusan arbitrase International Chamber of Commerce di
pengadilan Indonesia kandas sudah. Melalui putusan No. 56
PK/Pdt.Sus/2011, Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan Peninjauan
Kembali (PK) yang diajukan Pertamina EP dan PT melawan PT Lirik
Petroleum.
Majelis yang dipimpin Hakim Agung Prof. Mieke Komar menyatakan putusan
banding ke Mahkamah Agung dalam rangka permohonan pembatalan arbitrase
adalah putusan dalam tingkat pertama dan terakhir. Majelis menunjuk
ketentuan pasal 72 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). “Oleh karena putusan banding Mahkamah Agung adalah putusan dalam
tingkat pertama dan terakhir, maka dengan demikian Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tidak mengenal upaya hukum luar biasa peninjauan kembali,”
urai majelis dalam pertimbangan putusan.
Putusan sebenarnya sudah dibacakan pada Agustus tahun lalu. Namun Anita
Kolopaking, pengacara Lirik, mengatakan belum mendapatkan salinan
putusan resmi. “Saya belum mendapatkan salinan putusannya,” ujarnya
kepada hukumonline melalui telepon. M. Hakim Nasution, pengacara Pertamina EP, juga memberi pengakuan serupa. Berdasarkan salinan putusan
yang sudah dipublikasikan lewat laman Mahkamah Agung, terungkap bahwa
perseteruan Lirik dan Pertamina berkaitan dengan pengembangan empat
lapangan minyak, yakni Molek, Pulai Utara, Pulai Selatan, dan Lirik.
Setelah Lirik melakukan pengembangan di empat lokasi, ternyata hanya
lapangan Lirik yang dinyatakan komersial. Dengan dalih sudah
mengeluarkan biaya tak sedikit, Lirik meminta ganti rugi sesuai Enhanced Oil Recovery (EOR) Contract yang diteken bersama.
Lantaran menilai Pertamina wanprestasi, Lirik membawa masalah ini ke forum yang disepakati, yakni International Chamber of Commerce
(ICC). Arbiter di kamar dagang internasional yang berpusat di Perancis
itu memutuskan mengabulkan sebagian tuntutan lirik. Pertamina EP dan
Pertamina diharuskan membayar AS$34,49 juta atau sekitar 344,9 miliar
kepada Lirik. Agar bisa dieksekusi, Lirik mendaftarkan putusan ICC itu ke PN Jakarta Pusat pada April 2009. Namun Pertamina melawan, meminta pembatalan putusan ICC, baik putusan awal (partial award) maupun putusan akhir (final award). Permohonan Pertamina kandas karena dinilai tak memenuhi syarat Pasal 70 UU Arbitrase.
Berdasarkan pasal 70 tersebut, para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan arbitrase jika putuannya mengandung salah satu dari tiga
unsur. Pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua,
setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan. Ketiga, putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa.
Pertamina EP dan Pertamina mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Namun, lewat putusan No. 904 K/Pdt.Sus/2009
yang diwarnai dissenting opinion dari hakim agung Prof. Rehngena Purba,
Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. Rehngena menilai
tindakan Pertamina menolak status komersial atas lapangan minyak Molek,
Pulai Selatan dan Pulai Utara adalah kebijakan untuk menyelamatkan
negara dari kerugian yang dapat mengganggu stabilitas negara.
Atas putusan Mahkamah Agung itu, PN Jakarta Pusat kemudian menerbitkan aanmaning (teguran) dan memerintahkan Pertamina menghadap pada 17 November 2009. Pertamina diminta mematuhi putusan ICC.
Pertamina mengajukan perlawanan atas eksekusi.
Pada 15 April 2010, PN Jakarta Pusat memutuskan menolak perlawanan
Pertamina. Namun Pertamina bisa bernafas lega di tingkat banding.
Pengadilan Tinggi Jakarta, putusan pada 5 April 2011, menyatakan putusan
arbitrase ICC Case No. 14387/JB/JEM tidak dapat dieksekusi. Pengadilan
juga menyatakan Pertamina EP dan Pertamina adalah pelawan yang baik.
Keberatan atas putusan ini, giliran Lirik yang mengajukan kasasi.
Majelis kasasi yang dipimpin hakim agung H. Mohammad Saleh mengabulkan
permohonan kasasi tersebut (putusan No. 144 K/Pdt/2012).
Majelis menganggap alasan atau dalil yang dikemukakan untuk mengajukan
perlawanan atas eksekusi adalah sama dengan alasan permohonan pembatalan
arbitrase. Putusan yang menolak permohonan pembatalan arbitrase sudah
berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, pada 24 Mei 2012, Mahkamah
Agung menganulir putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menyatakan
putusan ICC tak bisa dieksekusi.
Anita menilai putusan Mahkamah Agung sudah tepat. Upaya perlawanan dia
nilai sebagai usaha mengulur waktu eksekusi. PT Lirik Petroleum akan
mematuhi peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Agung. “Kami
akan mengikuti sesuai dengan aturan hukum yang ada, prosesnya kami
ladeni saja”, kata Anita. Sementara, M. Hakim Nasution, pengacara Pertamina EP, menyatakan tak
bisa memberikan penjelasan detail karena belum membaca putusan dan tak
diberi wewenang untuk berbicara mengenai putusan tersebut. “Mohon maaf
saya tidak dapat berkomentar lebih banyak. Saya belum diberi kewenangan
untuk berbicara soal ini”, pungkasnya. Hukumonline juga sudah berusaha menghubungi M. Yahya Harahap, kuasa hukum Pertamina, lewat telepon, namun tak diangkat.
PN Jakarta Selatan Berwenang Adili Gugatan Astro
[Hukumonline, Selasa, 22 December 2009]
Formulir berlangganan yang disepakati penyedia siaran dan pelanggan mengatur sudah forum penyelesaian sengketa.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengeluarkan putusan sela atas gugatan perwakilan kelompok (class action) pelanggan siaran berbayar Astro. Dalam putusan sela bernomor 1386/Pdt.G/2009/PN Jkt.Sel itu, majelis menolak eksepsi kewenangan mengadili atau kompetensi absolut yang diajukan Astro All Asia Network Plc Ltd (Tergugat V) dan Measat Broadcast Network System (tergugat VII). Oleh karena eksepsi kompetensi absolut kedua tergugat ditolak, majelis hakim yang diketuai Haswandy menyatakan PN Jaksel berwenang memeriksa dan memutus perkara ini. Dengan demikian, sidang untuk memeriksa pokok perkara tetap dilanjutkan, Senin (28/12) mendatang.
Dalam pertimbangannya, majelis bersandar pada bukti formulir berlangganan (subscription form) yang diajukan penggugat, berupa formulir bernomor 0924877 atas nama pelanggan Antony Raharja. Di dalam formulir itu, diatur forum mana yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan antara pelanggan dengan PT Direct Vision (tergugat I) sebagai penyedia siaran Astro. Di sana disebutkan forum penyelesaian adalah PN Jakarta Selatan atau pengadilan lainnya yang berwenang di Indonesia.
Cuma, sebelum menempuh jalur pengadilan, ada mekanisme yang harus ditempuh terlebih dahulu. Dengan kata lain, perkara baru bisa dibawa ke pengadilan kalau kedua belah pihak tak mencapai kata sepakat atas perselisihan. “Menimbang bahwa bukti P1 (bukti penggugat) yakni surat bukti formulir berlangganan yang pada point 12 memuat hukum yang mengatur dan yurisdiksi. Yang berbunyi sebagai berikut: perjanjian ini diatur berdasarkan hukum Indonesia. Setiap perselisihan yang berkaitan dengan perjanjian ini terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah di antara PT Direct Vision dengan pelanggan,” papar Haswandy.
Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, Haswandy melanjutkan, “perselisihan akan diajukan pada yurisdiksi non eksklusif Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tanpa dibatasi hak PT Direct Vision untuk mengajukan perselisihan kepada pengadilan lain di Indonesia”. Dengan demikian, majelis berpendapat bahwa PN Jaksel berwenang memeriksa dan memutus perkara ini. “Oleh karena itu, perkara ini harus dinyatakan dilanjutkan,” imbuhnya.
Atas pertimbangan dan putusan majelis ini, salah satu kuasa hukum tergugat V dan VII, Prawidha Murti mengatakan perjanjian yang termuat dalam formulir berlangganan itu adalah antara pelanggan siaran Astro dengan PT DV. Bukan dengan Astro atau dengan tergugat lain. Sehingga, hubungan hukum yang terjalin, menurut Widha –sapaan akrab Prawidha- harusnya terputus sampai di PT DV saja. “Astro di sini, kan posisinya hanya sebagai supplier. Jadi harusnya sampai PT DV putus, nggak ada subscriber (memiliki hubungan hukum dengan Astro)”.
Widha melanjutnya, “kayaknya pertimbangan hakim loncat. PN Selatan dikatakan berwenang mengadili. Tapi, berwenang mengadili siapanya? Masa semuanya digeneralisir”. Namun, majelis hakim dalam pertimbangannya sudah menyatakan bahwa yang menjadi pokok gugatan tidak hanya sebatas hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat I (PT DV). Melainkan juga dengan para tergugat lainnya, yang menurut penggugat adalah sebagai penyelenggara jasa siaran televisi berbayar dengan merk Astro di Indonesia. “Jadi, bukan tentang hubungan hukum yang berkaitan dengan kewenangan arbitrase yang termuat dalam pokok klausul 17 Subscription and Shareholder Agreement (SSA) tergugat, 11 Maret 2005 dengan segala amandemennya. Yang mana hubungan hukumnya adalah antara sesama tergugat,” tutur Haswandy.
Seperti diketahui, Astro dan pemegang saham PT DV (PT Ayunda Prima Mitra) telah menandatangani SSA pada 11 Maret 2005. Yang mana, dalam klausul 17 SSA, diatur bahwa lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan adalah Singapore International Arbitration Center (SIAC). SSA ini rencananya akan berujung pada terbentuknya joint venture atau usaha patungan antara Astro dan Ayunda. Namun, karena sampai akhir syarat-syarat tidak terpenuhi, joint venture tidak terealisir. Lalu, karena terjadi perselisihan, forum arbitrase Singapura juga tengah memeriksa perkara Astro dengan Ayunda.
Kompetensi absolut
Meski putusan majelis telah menolak eksepsi kompetensi absolute tergugat V dan VII, Widha tetap akan mengajukan kompetensi absolute dalam pemeriksaan pokok perkara nanti. Karena menurutnya, PN Jaksel harus menghormati proses yang sedang berjalan di SIAC. “Perkara ini, pemeriksaannya sudah selesai, tinggal menunggu putusan di arbitrase (SIAC). Mengenai tidak adanya joint venture dan bahwa Astro nggak punya kewajiban melanjutkan service itu juga udah ada putusannya kemarin di Partial Award tanggal 3 Oktober”.
Dengan ini, lanjut Widha, “sekarang kita udah nggak bisa menghindar dengan fakta bahwa putusan arbitrase internasional untuk itu sudah ada. Sekarang pengadilan Indonesia mau gimana? Mau ignore? Mau putusin sendiri?”
“Harus diingat, kita (Indonesia) sudah committed sama dunia internasional kalau kita sudah meratifikasi New York Convention (konvensi tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing). Kita harus konsekuen dong, kalau sudah ratified, kita harus menghormati yang namanya putusan arbitrase asing,” tegasnya.
Tapi, karena majelis sudah berkehendak demikian, Widha akan berdiskusi lebih lanjut dengan kliennya untuk menentukan sikap dan bukti-bukti apa yang akan mereka ajukan berikutnya. “Yang pasti kita akan tetap fight dengan masalah kewenangan mengadili”.
Masalahnya, yang dikhawatirkan Widha adalah terjadinya ketidakpastian hukum, apabila putusan Pengadilan Negeri di Indonesia bertentangan dengan putusan arbitrase di Singapura. Salah satu contoh ketidakpastian hukum yang telah terjadi, PN Surabaya, 4 Agustus lalu telah mengeluarkan putusan sela untuk menghentikan gugatan class action para pelanggan Astro di Surabaya. Dengan alasan, gugatan class action harus diajukan sekaligus secara nasional, tidak boleh sendiri-sendiri seperti itu. Namun, putusan tersebut bertolakbelakang dengan putusan majelis hakim PN Jaksel. Majelis beranggapan gugatan class action telah memenuhi syarat formil, sehingga layak untuk dilanjutkan.
Hal-hal seperti ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal, kata advokat dari kantor hukum Lubis, Santosa dan Maulana ini, “Kami datang ke pengadilan untuk mencari kepastian hukum. Jangan sampai datang ke sini malah mendapat ketidakpastian hukum”.
mau nanya, gugatan PMH PT Ayunda thd astro ini sdh mencapai putusan akhir blm y di PN jaksel? thanks.
BalasHapusMasih proses banding mba !
BalasHapus