Jumat, 18 November 2011

SERI KULIAH : HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


HUKUM KONSUMEN & HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN 
Hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen (konsumen dan pelaku usaha)

Hukum Perlindungan Konsumen diartikan sebagai bagian dari hukum konsumen
yang memuat asas-asas suatu kaedah bersifat mengatur dan juga mengandung
sifat melindungi
kepentingan konsumen.


दसर HKM KONSUMEN /HKM PERLINDUNGANKONSUMEN
UUD RI 1945
Pembukaan alinea 4 (...melindungi segenap bangsa .......)
Pasal 27 ayat (2) (“penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”)
Pasal 28 H ayat (1) (“..berhak hidup sejahtera lahir dan batin,....”)
Pasal 33 ayat (3) (“digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Peraturan Perundang-undangan
Hkm Perdata
- KUHPerdata (psl 1365) & KUHDagang
Humum Publik:
- Hkm Admnistrasi Negara (cabut izin)
- Hukum Pidana
- Hkm Acara Perdata & Hkm Acara Pidana
- Hkm Perdata International
TUJUAN PERLINDUNGAN कोंसुमें (Pasal 3 UU No.8 Tahun 1999)
meningkatkan harkat / martabat, kesadaran, kemampuan dan pemberdayaan konsumen dalam memilih dan menuntut haknya sebagai konsumen;
menciptakan system perlindungan konsumen yang berkepastian हुकुम, केतेर्बुकान informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha tentang pentingnya पेर्लिन्दुंगन konsumen, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam मेंजलांकन usahanya;
meningkatkan kualitas produksi barang dan/atau jasa untuk kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan konsumen;
PENGERTIAN KONSUMEN
UMUM
Konsumen adalah setiap orang pemakai, pengguna, pemanfaat barang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu (pengertian konsumen pada umumnya);
Konsumen antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan untuk tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan / dengan tujuan komersil;
Konsumen Akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi keluarga dan ruma tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).
Pasal 1 butir 2 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
PENGERTIAN KONSUMEN DIBEBERAPA NEGARA
UU Australia, Commonwealt of Australia, Trade Practices Act, 1974/1997 Pasal 4 B ayat (1) a:
“ Setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa tertentu dengan harga maksimum A $ 15.000.- atau kalau harganya melebihi jumlah itu, barang atau jasa tersebut umumnya digunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau rumah tangga (normally used for personal, family or household purposes).
UU Belanda, BW Belanda baru tentang Perjanjian Pembelian Konsumen (Konsumentenskoop) Pasal 236, 237 :
Konsumen dalam suatu pembelian adalah Pembeli orang alami yang tidak (bertindak) dalam rangka pelaksanaan profesi atau usaha.
UU Perlindungan Konsumen India (India Consumer Protections Act No. 68 of 1986 Psl 2 d (i) dan (ii).
Setiap Pembeli barang atau jasa yang disepakati, termasuk harga dan syarat-syarat pembayarannya, atau setiap pengguna selain pembeli itu, dan tidak untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersil”

PENGERTIAN PELAKU USAHA
Menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pelaku usaha meliputi:
Investor : adalah setiap penyedia dana untuk digunakan baik oleh pelaku usaha atau konsumen:
Produsen, adalah setiap pembuat barang dan atau jasa dari barang atau jasa lain;
Distributor adalah setiap pelaku usaha, pengedar atau penjual barang dan atau jasa.
Konsumen perantara (antara) masuk dalam pengertian pelaku usaha.
Pengertian Pelaku Usaha menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No.8 Tahun 1999:
Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
GERAKAN PERLINDUNGAN कोंसुमें

Konsumerisme atau gerakan perlindungan konsumen adalah upaya terorganisir dari masyarakat yang peduli, pemerintah dan pelaku saha yang jujur dan bertanggung jawab untuk mendorong hak-hak dan daya konsumen dalam kaitannya dengan pelaku usaha .
Konsumerisme bukanlah paham yang mengajarkan orang berlaku konsumtif. Melainkan gerakan yang memerjuangkan ditegakkannya hak-hak konsumen.
PENYEBAB TERJADINYA GERAKAN KONSUMEN
INFORMASI KURANG
- PELAKU USAHA PROFESIONAL>< KONSUMEN AMATIR
- KONSUMEN KURANG WAKTU, PENGETAHUAN, DANA
- IKLAN MENYESATKAN
PENAMPILAN PRODUK
- TAMPILAN MENARIK TAPI MENYESATKAN
-IKLAN TIDAKMENJUAL PRODUK DITAWARKAN
PELAYANAN TIDAK PROFESIONAL
- SERVICE TIDAK SESUAI JANJI (al: Iklan Motor”undian)
- MANIPULASI POTONGAN HARGA
- PENYEDIAAN SUKU CADANG, GARANSI
PANDANGAN TTG PASAR BERBEDA
- ANTARA PERSAINGAN HARGA >< JENIS PRODUK
- ANTARA PRODUK KEBUTUHAN >< PERDAGANGAN
- IKLAN INFORMASI >< IKLAN PEMASARAN

Tahap Gerakan Perlindungan Konsumen
  1. Tahap I (1881-1914)
The Jungle (novel: Upton Sinclair): cara kerja pabrik pengolahan daging yg tdk मेमेनुही syarat kesehatan.
  1. Tahap II (1920-1940)
Your Moneys Worth (Buku: Chase n Schlink) mengugah hak-hak dlm jualbeli (slogan: fair,deal, best buy)
3. Tahap III (1950-1960)
IOCU (International Organisation of Consumer Union) AS, Inggris, Belanda, Australia danBelgia. Di London.---- CI (Consmr Intl)

  1. Tahap IV ( 1965)
Tahap pemantapan di Cile (Amerika Latin), Malaysia (Asia pasifik) Zimbawe (Aprika), लन्दन (Negara Maju)
Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen
Prinsip Kedudukan Konsumen
1. Let the buyer beware (caveat emptor) PU = Konsumen (berhati20)
2. The Due Care Theory : PU berhati-hati, Pembuktian 1865 KUHPer
3. The Privity of Contract: Kontrakual, wanprestasi
Prinsip: Tangung Jawab
1. Fault Liability (berdasar kesalahan) ; Psl 1365 KUHPer
2. Presumtion of liability Principle (PU selalu bertangung jawab, kecuali dibuktikan sebaliknya):
3. Presumtion nonablilty Principle ( PU selalu tdk bertang gung jawab) – kehilangan tanggung jawab
konsumen;
4. Strict liability (tanggung jawab mutlak) Product liability & Profesional liability;
5. Limitation of liability principle (tanggung jawab dgn pembatasan): perjanjian standard / klausula
baku : contoh: ganti rugi 10 X
TRANSAKSI KONSUMEN ( Consumer transaction)
Dalam perspektif hukum perdata, perikatan transaksi konsumen itu bukan transaksi yang berdiri sendiri, perikatan konsumen merupakan pelaksanan dari perikatan sebelumnya, yang disebut pratransaksi konsumen. Kemudian setelah transaksi konsumen dilaksanakan, masih ada lagi perikatan lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak yang disebut pasca transaksi konsumen.
Dengan kata lain, ada tiga tahap transaksi konsumen, yaitu :
Tahap pra transaksi;
Tahap transaksi;
Tahap purna transaksi;
TAHAP PRA TRANSAKSI KONSUMEN
Pada tahap ini biasanya ditandai oleh penawaran dari penjual kepada pembeli. Penawaran lazim dilakukan melalui media massa yang dikemas secara menarik yang disebut iklan.
Pelaku Usaha “periklanan” terdiri dari:
Pengiklan, yaitu pelaku usaha yang memesan perancangan dan pembuatan iklan pada perusahaan / biro iklan, untuk mempromosikan produk hasil usahanya dengan memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur pada Biro Iklan tersebut.
Perusahaan Periklanan, yaitu pelaku usaha yang menciptakan pesan-pesan iklan yang memuat unsure persuasive sesuai dengan informasi produksi yang ia terima dari pengiklan;
Media massa/periklanan, yaitu pelaku usaha yang menyiarkan melalui media cetak) atau menayangkan (melalui media elektronik) iklan-iklan tersebut dengan menjaga kesepadanan antara iklan yang disiarkan / ditayangkan , menikuti nilai-nilai hukum, social, budaya yang hidup dalam masyarakat;
Pada tahap pra transaksi ini , hal-hal yang signifikan adalah mengenai “informasi yang benar, jelas dan jujur” (Pasal 4 UUPK yang mengatur hak-hak konsumen).
Sebagai contoh mengenai “Iklan obat”, antara lain diatur SK Menteri Kesehatan No. 0282-3/A/SK/XI/90, yang berisi ketentuan:
setiap iklan obat harus memuat informasi sesuai dengan persetujuan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan pada saat obat itu didaftarkan.
Jenis obat yang diiklankan hanyalah jenis obat bebas dan terbatas, bukan obet keras.
Naskah iklan harus diserahkan kepada Direktorat jenderal POM (Pengawasan Obat dan Makanan);
Dalam Kode Etik Periklanan Iklan obat-obatan disyaratkan :
Harus sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui oleh Depkes;
Tidak boleh memuat kata-kata yang berisi janji penyembuhan penyakit, hanyalah boleh menyatakan membantu menghilangkan gejala penyakit;
Tidak boleh mencantumkan kata-kata “aman”, “tidak berbahaya” atau “bebas resiko” tanpa keterangan lengkap menyertainya.
Dilarang memakai tenaga professional kesehatan seperti dokter, perawat, ahli farmasi, rumah sakit atau atribut profesi medis lainnya, sebagai model iklan;
Secara umum UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 tahun 1999) dalam konteks periklanan mengaturnya dalam Pasal 17 uncto Psl 20 jo Psl 62 ayat (1) dan (2) :
PELAKU USAHA PERIKLANAN DILARANG MEMPRODUKSI IKLAN YANG:
Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang dan/atau jasa;
Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa;
Mengekploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
II. TAHAP TRANSAKSI KONSUMEN
Pada tahap pelaksanaan transaksi konsumen ini, hal-hal yang penting dan perlu mendapat perhatian adalah:
a. Syarat syahnya perjanjian konsumen (Psl. 1320 KUHPerdata;
  1. adanya klausula baku;
  2. Praktek bisnis untuk meningkatkan pangsa pasar, yaitu kegiatan pemasaran, missal : door to door / MLM (multi level marketing);
Klausula Baku
Dalam UU Perlindungan Konsumen, “klausula baku” diatur dalam Pasal 1 angka 10: yang didefenisikan : “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Perjanjian Standard
Perjanjian Standar dapat didefenisikan : perjanjian yang ditetapkan secara sepihak oleh produsen / penyalur produk / penjual, dan mengandung ketentuan-ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan menyetujui atau menolaknya.
Segi-segi negative perjanjian standar / klausula baku:
syarat baku dapat menghilangkan hak-hak prinsip konsumen;
syarat baku dapat menghilangkan kewajiban Pelaku Usaha;
pembuat klausul baku telah bertindak sebagai pembuat UU, hakim swasta;
Segi positif perjanjian standard / klausula baku:
transaksi cepat;
biaya penyusunan kontrak hampir tidak ada;
syarat-syarat teknis tidak memusingkan;
konsumen tidak kehilangan energi.
Contoh Bentuk-bentuk perjanjian yang distandardisir / yang dibakukan :
Formulir (al: perjanjian pembukaan rekening Bank, cuci cetak photo dll);
Dokumen tertulis (al: polis asuransi);
Pengumuman yang ditempel ( di toko-toko retail : “kehilangan barang bukan tanggung jawab pelaku usaha);
Struk belanja ( barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan).
Yang perlu dikhawatirkan dari perjanjian standar / klausula baku ini adalah dicantumkannya klausula eksenorasi (exemptin clause), yaitu klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada pihak produsen / penyalur produk / penjual.
KLAUSULABAKU dalam UU Perlindungan Konsumen diatur Pasal 18 jo Pasal 62 ayat 1:
(1) Pelaku Usaha DILARANG memuat KLAUSULA BAKU dalam PERJANJIAN atau DOKUMEN,
apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha”.
b. pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang dibeli konsumen;
c. pelaku usaha berhak menolak pengembalian uang pembelian barang dan/jasa
d. pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindakan secara sepihak yang berkaitan dengan pembelian secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli ;
f.memberihak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g.menyatakan konsumen tunduk kepada aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak terhadap manfaat jasa yang dibelinya;
h.menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tangggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Letak / bentuknya sulit dilihat / sulit dimengerti konsumen;
(3) Klausula Baku yang sesua dengan KRITERIA ayat (1) a-h, ayat (2): BATAL DEMI HUKUM;
(4) Pelaku Usaha wajib menyesuaikan Klausula Baku nya dengan aturan ini;
Jadi Klausula baku DIPERBOLEHKAN sepanjang memenuhi syarat -syarat :
tidak memuat klausula eksenorasi atau ketentuan yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha; dan
tidak berbentuk / letaknya pada tempat yang sulit terlihat atau tidak dapat terbaca atau pengungkapannya sulit dimengerti.
III. TAHAP PURNA TRANSAKSI
Yang terpenting dalam tahap ini adalah layanan purna jual (after sales services), beberapa hal yang sering menjadi masalahantara lain:
Tanggung jawab Produk
Barang yang dibeli tidak sesuai dengan yg dijanjikan, tidak sesuai dengan standar kesehatan (WHO), dsb;
Garansi Produk
masalah jaminan, adakalanya garansi itu sulit karena tidak berlaku di luar Negara;
Penyelesaian Sengketa
masalah penyelesaian sengketa (Pasal 45 UUPK), perdamaian atau melalui lembaga tertentu (BPSK).
Tanggung jawab produk merupakan tanggung jawab dari produsen dan pihak-pihak yang menyalurkannya secara tanggung renteng seluruhnya bersifat tanggung jawab mutlak (strict liability) atau tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault).
TANGGUNG JAWAB PRODUK
Tentang tanggung jawab produk ini Pasal 19 UUPK ayat (1) secara jelas mengatur :
“pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
Ganti rugi bersifat serta merta, dan diberi jangka waktu 7 hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19 ayat 3 UUPK).
JAMINAN / GARANSI PRODUK
Pasal 25 UUPK yang menyatakan, bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun, wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
Pelaku usaha tersebut wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi da/atau gugatan konsumen jika pelaku usaha itu tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan, juga jika ia tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Penyelesaian kasus layanan purna jual (Pasal 25 UUPK) masih melakukan upaya penuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen, Pasal 27 huruf (e) UUPK memberi batas waktu kadaluarsa untuk melakukan penuntutan atau guagatan itu selama empat tahun sejak barang yang dibeli atau setelah lewat masa garansi.
PENYELESAIAN SENGKETA KOSUMEN
Salah satu maslah yang sering terjadi dalam tahap purna transaksi konsumen adalah penyelesaian sengketa, karena seringkali timbul akibat pelaku usaha tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Sengketa konsumen adalah sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata Negara.
Oleh karena itu terminology yang digunakan adalah “sengketa konsumen” bukan sengketa transaksi konsumen, karena istilah terakhir ini lebih sempit pengertiannya hanya mencakup aspek hukum perdata saja. UUPK mengatur proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen, namun demikian secara umum hukum acara perdata (HIR) dan hukum acara pidana (KUHAP) tetap berlaku.
Penyelesaian Sengketa di peradilan umum
Pasal 45 UUPK ayat (1):
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.
Ayat (2):
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di lluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.”
Ayat (3)
“ Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam UU ini”
Secara PERDATA, Pasal 46 UUPK mengatur gugatan dapat dilakukan oleh:
  1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahl waris yang bersangkutan:
  1. sekelompok konsumen yang mempunyaikepentingan yang sama
  1. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
4. pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan
Pasal 47 UUPK
Penyelesaian sengketa konsumen di luar apengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau melalui tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen di luarpengadilan dimaksudkan sebagai upaya perdamaian diantara konsumen dan pelaku usaha, dalam konteks itu dapat juga ditafsirkan termasuk penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang salah satu tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi..
BPSK
Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang mempunyai tugas dan wewenang:
- melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
- memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
- melaksanakan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
- melaporkan kepada penyidik umujm apabila terjadipelanggaran ketentuan UUPK;
- menerima pengaduan (lisan, tertulis) tentang terjadinya pelanggaran UUPK;
- melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
- memanggil pelaku usaha yang diduga melanggar UUPK;
- memanggil dan menghadirkan saksi-saksi, saksi ahli atau setiap orang dalam pelanggaran UUPK;
- meminta batuan penyidik memanggil pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang;
- mendapatkan , meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
- memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian konsumen;
- memberitahukan putusan kepada pelaku usaha;
- menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha.
Keputusan Mentri Perindustrian & Perdagangan RI No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas BPSK;
Sengketa Konsumen: sengketa antara Pelaku Usaha dgn konsumen yg menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau yg menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.
Instrumen Hukum Administrasi Negara BPSK
(diatur dalam Psl 49 ayat (1), Psl 54 ayat (1) UUPK jo Psl 2 SK Menperindag
No.350/MPP/Kep/12/2001) penyelesaian sengketa diluar pengadilan dgn cara:
Konsiliasi : insiatif para pihak didampingi Majelis BPSK yg bersikap pasif (BPSK sebagai
Pemerantara);
Mediasi : inisiatif para pihak didampingi Majelis BPSK yg bersikap aktif (BPSK sbg
Perantara & Penasehat);
Arbitrase: para pihak menyerahkan sepenuhnya kpd Majelis BPSK memutuskan &
menyelesaikan sengketa konsumen;
Ketiga cara tsb atas dasar pilihan & persetujuan para pihak, bukan penyelesaian berjenjang.
Alat Bukti (Psl 21 SK Menperindag No. 350/2001)
1. Barang dan/atau Jasa
2. Keterangan para pihak;
3. Keterangan saksi (fakta) dan/atau Saksi Ahli;
4. Surat dan/atau dokumen;
5. Bukti-bukti lain yang mendukung;
Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian terbalik (Psl 28 UUPK jo Psl 22 SK Menperindag 350)
Persangkaan UU pd hakekatnya merupakan pembalikan beban Pembuktian (Prof. Subekti);
PUTUSAN BPSK
- Putusan BPSK dijatuhkan paling lambat 21 hari kerja sejak gugatan diterima di sekretariat BPSK (Psl 52 huruf i UUPK);
- Isi Putusan bersifat final & mengikat (Psl 54 ayat 3 UUPK)
- Isi putusan : penjatuhan sanksi administratif maksimal Rp.200.000.000,- (Psl 52 huruf mjo Psl
60 ayat (2)UUPK);
- Isi putusan tidak Aada sanksi administratif, jika konsiliasi / mediasi merupakan perjanjian tertulis, dikuatkan dgn Putusan BPSK;
- Putusan Arbitrase berupa Putusan BPSK didalamnya dibolehkan adanya sanksi administratif;
Upaya Hukum
- Keberatan ke Pengadilan Negeri (Banding) dalam waktu 14 hari setelah menerima
putusan BPSK;
- Kasasi ke Mahkamah Agung (14 hari setelah menerima putusan)
Instrumen PTUN
- Konsumen perorangan (1 org atau lebih) yg dirugikan oleh sua Keputusan Tata Usaha Negara (SK tertulis /memo/Nota/beshiking) dapat mengunakan instrumen hukum peradilan tata usaha negara (Psl 1 butir 4 UU PTUN jo Psl 1 butir 2 UUPK);
- Sebagai contoh: Surat pemutusan listrik / PLN, PDAM
- KTUN: yang bersifat kongkrit (tidak abstrak), Individual (tidak umum, menunjuk nama/tempat tertentu) dan final (akibat hkm yg defenitif).
Dasar hukum gugatan:
- KTUN bertentangan dgn hukum yg berlaku;
- KTUN melanggar Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik;
- Petitum Gugatan
- pembatalan /tdk sahnya KTUN + ganti rugi max Rp.5 jt /rehabilitasi;
- penerbitan KTUN yg dimintakan;
Instrumen Hukum Acara Pidana
A. Konsumen sebagai korban pelanggaran norma-norma Undang-undang Perlindungan Konsumen
Dibidang perlindungan konsumen tdk jarang sulit menentukan siapa yg menjadi korban pelanggaran norma-norma UUPK, belum lagi penentuan akibat-akibat kebijakan hukum yg ditempuh pd setiap pemeriksaan.
Katagori korban berdasar derajat kesalahan(BenjaminMendelson)
1. Korban yg sama sekali tidak bersalah;
2. Korban yg menjadi korban karna kelalaiannya;
3. Korban yg sama salahnya dgn pelaku;
4. Korban yg lebih bersalah dari pada pelaku;
5. Korban yg satu2nya bersalah, dlm hal pelaku dibebaskan.
KUHAP (psl 98 -101): jika saksi korban berupaya memperoleh kompensasi, dpt menggugakan “Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian”
B. Pelaku Usaha tidak mematuhi Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Jika Pelaku Usaha tidak melaksanakan putusan BPSK yang sudah tidak mungkin lagi mengajukan keberatan, BPSK menyerahkan kepada Penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Psl 56 ayat (4) UUPK
Putusan BPSK merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan
Psl 56 ayat (5) UUPK
Tidak mematuhi putusan BPSK yang sudah tidak mungkin lagi mengajukan keberatan dan telah dimintakan fiat eksekusi merupakan salah satu tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;

TANGGUNG JAWAB PIDANA KORPORASI DALAM UU No.8 Th. 1999 Ttg Perlindungan Konsumen
Pertanggung Jawaban Pidana:
- Tindak pidana (delict) tidak sama dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) (onrechtmatigedaad / a tort)
Keduany merupakan kesalahan (wrong), pelanggaran terhadap larangan hukum (commission) atau kewajiban hukum (ommission).
PMH = melawan hukum formil maupun materil
formil = peraturan perundang2an (Yurispodensi walau tanpa sanksi)
materiil= kepatutan, kesusilaan baik,
Tindak Pidana = prilaku melanggar ketentuan pidana yg berlaku sblm perbuatan dilarang atau diwajibkan oleh ketentuan pidana.
Psl 1 ayat (1) KUHP jo Psl 6 ayat (1) UU No. 4 Th 2004 ttg Kekuasaan Kehakiman : Tiada satu perbuatan dpt dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana dlm perundang2an sblm perbuatan itu dilakukan;
Tiada Pidana tanpa Kesalahan (nulla poena sine culpa)
Seseorang tdk dpt dibebani tanggung jawab pidana (criminal liability) & dikenakan sanksi pidana krn telah melakukan perbuatan yg berdasar UU merupakan tindak pidana, apabila perbuatan tsb dilakukan dengan tdk sengaja (tdk berdasar dollus) atau bukan karena kelalaiannya (culva)
Pasal 44 ayat (1) KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan yg tdk dpt dipertanggung jawabkan kpdnya karena jiwanya cacat dlm pertumbuhan atau terganggu krn penyakit, tidak dipidana.
Pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Th 2004 ttg Kekuasaan Kehakiman
Tiada seorang pun dpt dipidana, ecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yg sah menurut UU, mendapat keyakinan bahwa seorang yg dianggap dpt bertanggung jawab, tlh bersalah atas perbuatan yg didakwakan atas dirinya.
Kesimpulannya: seorang hanya dpt dipidana (bertanggung jawab) krn kesalahannya yg dibuktikan dari tindakannya yg dilakukan baik krn kesengajaan (dolus) maupun kealpaan/kelalaiannya (culpa)
Actus Reus & Mens Rea
Seorang hanya dpt dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya krn telah melakukan suatu perbuatan (Actus Reus) yg hrs dpt dibuktikan, tetapi jg pd waktu perbuatan dilakukan hrs memiliki sikap kalbu (niat/motivasi/mens rea) yang terkait langsung dengan perbuatan.
DKL : Actus Reus itu perbuatan, sedangkan Mens Rea itu adalah unsur kesalahan. Artinya hanya manusia sajalah yg dpt dipertanggung jawablan secara pidana, krn hanya manusia yg memiliki kalbu / niat/motivasi/mens rea.
Bagaimana dengan korporasi ? Apakah dapat dipertangung jawabkan secara pidana ?
Pengertian Korporasi
Korporasi berasal dari kata Corporation (Inggris), corporatie (Belanda), korporation (Jerman), corporatio (Latin).
Korporasi dalam arti sempit (perspektif Hkm Perdata) adalah badan hukum yg mempunyai hak dan kewajiban sebagai figur hukum (legal person) seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan & Perkumpulan berbadan hukum.
Korporasi dalam arti luas (perspektif Hkm Pidana) meliputi seluruh badan usaha baik berbadan hukum maupun bukan badan hukum (termasuk Firma,CV, persekutuan dan badan usaha yg menurut hkm perdata bukan badan hukum).
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ttg Tindak Pidana Korupsi;
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yg terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
UU No. 15 tahun 2002 ttg Tindak Pidana Pencucian Uang
Korporasi adalah kumpulan ang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan adan hukum.
Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana
Terjadi perbedaan pendapat tentang penetapan Korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Pendapat yg menentang berargumen:
Korporasi tdk memiliki kalbu sendiri, krn itu tdk mungkin menunjukan nilai moral yg dapat dipersalahkan secara pidana.
Pendapat yg setuju dengan argumen:
Korporasi bukanlah fiksi, krn dapat jg menimbulkan kerugian bagi pihak lain spt manusia.
DOKTRIN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA
1.Doctrine of Strict Liability
Doktrin tanggung jawab mutlak ini membebankan pertanggung jawaban pidana pd pelaku dgn tdk perlu membuktikan adanya kesalahan (sengaja/lalai). Korporasi dpt dibebani pertanggung jawaban pidana utk TP yg tdk dipersyaratkan adanya mens rea (sikap kalbu) spt: pencemahan LINGKUNGAN HIDUP, Perlindungan Konsumen dll.
Strict liability dlm praktek: pelangaran lalu lintas (tilang).
2.Doctrine of Vicarious Liability
Doktrin pertanggung jawaban vikarius ini berasal dari ranah perdata (PMH/tort) yaitu principal (pemberi kuasa) bertanggung jawab ats perbu atan agentnya (penerima kuasa) sepanjang lingkup kewenangannya. Korporasi bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pengurusnya yg menguntungkan perusahaan.
3. Doctrine of Delegation;
Adanya pendelegasian wewenang dari korporasi kepada karyawan untuk melaksanakan kewenangan yg dimilikinya;
4. Doctrine of Identification;
Untuk dapat dibebankan tanggung jawab pidana korporasi, siapa yg melakukan hrs dpt didentifikasi PU, sepanjang TP dilakukan oleh “directing mind” dr korporasi;
5. Doctrine of Aggregation;
Doktrin ini memungkinkan agregasi ato kombinasi kesalahan dr sejumlah org, untuk diatributkan kpd korporasi, shg korporasi dpt dibebani pertanggungjawaban pidana.
6. The Corporate Culture Model;
Model budaya kerja : tdk perlu menemukan siapa org yg bertanggung jawab atas PMH untukdpt mempertanggung jawabkan perbuatan korporasi, karena korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yg bertanggung jawab atas suatu tindakan melanggar hukum, bukan hanya org yg melakukannya.
7. Reactive Corporate Fault
Pertanggung jawaban pidana korporasi (kesalahan) terletak pada kegagalan korporasi untuk menanggapi secara positif dilakukannya perbuatan itu daripada atas dilakukannya perbuatan itu sendiri.
3 Model Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi (Mardjono Reksodiputro)
  1. PENGURUS KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA, PENGURUSLAH YANG BERTANGGUNG JAWAB;(asas: societas/universitas delinquere non potese / BH tdk dpt melakukan TP)
  2. KORPORASI SBG PELAKU TINDAK PIDANA, PENGURUSLAH YANG BERTANGGUNG JAWAB;(alat perlengkapan Korporasi yg berdasarkan AD bertindak = korporasi, mk pengurus bertanggung jawab )
  3. KORPORASI SBG PELAKU TINDAK PIDANA, KORPORASI JG YG BERTANGGUNG JAWAB (ada keuntungan yg diterima tdk hanya oleh pengurus, tp jg oleh korporasi)
Pendapat Remi Sahdeni:
Korporasi dpt dipertanggung jawabkan secara pidana, karena:
1. १। Korporasi dpt menikmati keuntungan, korporasi jg bisa merugikan, karnanya hrs bertanggungjawab;
2. २। Korporasi mempunyai harta kekayaan sbg pembayar denda/hukuman;
3. ३। Mendorong pencegahan terjadinya tindak pidana oleh Korporasi;
4. ४। Mendorong pemegang saham mengawasi asset korporasi;
Korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam perundang-undangan
UU No. 8 / 1984 ttg Perindustrian;
UU No. 8 /1995 ttg Pasar Modal
UU No. 23/1997 ttg Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 5/1997 ttg Psikotropika
UU No. 22/1997 ttg Narkotika
UU No. 31/1999 jo 20/2001 ttg Pemberantasan TP Korupsi
UU No. 5/1999 ttg Larangan Praktek Monopoli dan पेर्सैंगन उसह तिदक Sehat

UU No. 8/1999 ttg Perlindungan Konsmen
UU No. 15/2002 ttg TP Pencucian Uang
Korporasi diterima sbg subjek hukum dan sama dengan Subjek Hukum lain (manusia)
Pertanggung jawaban pidana korporasi dalam Perlindungan Konsumen
Pasal 61 UU No.8Tahun 1999 ttg Perlindungan Konsumen:
“Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya”
Pasal 1 ayat (3):
Pelaku Usaha adlh setiap org perseorangan atau badan usaha, baik yg berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yg didirikan & berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dlm berbagaoi bidang ekonomi”.
Berdasarkan ketentuan tsb. (Psl 61 jo Psl 1 ayat (3)) undang-undang perlindungan konsumen telah menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yg dgn sendirinya dibebani pertanggung jawaban pidana.
Sumber Bacaan antara lain:
1. Undang-undang No.8 / Th 1999 ttg Perlindungan Konsumen;
2. Consumer Protection Reporting Service, Volume I, Donald P Rotchild.
3. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia Suatu pengantar (AZ Nasution,1999);
4. Hukum Perlindungan Konsumen (Shidarta, Grasindo, 2000)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar